REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dan Komisi XI DPR menyepakati asumsi makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020, Senin (17/6). Kesepakatan dilakukan dalam rapat kerja di Ruang Rapat Komisi XI, Gedung DPR, Jakarta.
Kesepakatan tersebut meliputi pertumbuhan ekonomi 5,2 hingga 5,5 persen, sementara inflasi di kisaran dua sampai empat persen dan tingkat bunga surat perbendaharaan negara (SPN) untuk tiga bulan pada kisaran 5,0 sampai 5,5 persen. Terakhir, nilai tukar rupiah adalah Rp 14.000 sampai Rp 14.500 per dolar AS.
Keputusan tersebut tidak jauh berbeda dengan Kerangka Ekonomi Makro (KEM) PPKF RAPBN 2020 yang diajukan pemerintah. Di mana inflasinya sama, sementara suku bunga SPN berkisar antara lima sampai 5,6 persen.
Semula, DPR mengajukan asumsi untuk suku bunga SPN adalah 5,0 hingga 5,3 persen. Namun, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, angka tersebut terlalu jauh dibanding dengan realistis saat ini, yakni 5,8 year to date (ytd).
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang disepakati lebih rendah dari pengajuan awal pemerintah. Semula, pemerintah mengajukan target pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2020 adalah 5,3 sampai 5,6 persen yang kini diubah menjadi 5,2-5,5 persen.
"Agar lebih realistis," tutur Ketua Komisi XI DPR Melchias Mekeng sebelum mengetuk palu.
Terakhir, rentang nilai tukar rupiah juga dipersempit. Semula, pemerintah mengajukan kisaran Rp 14.000 sampai Rp 15.000 per dolar AS.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan, asumsi makro untuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 sudah mempertimbangkan kondisi ekonomi global terbaru. Terutama terkait eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dengan Cina yang semakin memanas.
Sebelumnya, Sri mengatakan, pembahasan mengenai RAPBN 2020 sudah dimulai pada Januari. Saat itu, sudah disampaikan mengenai kondisi global pada tahun ini yang akan mengalami perlemahan oleh berbagai institusi. "Ada revisi proyeksi ke bawah saat itu," tuturnya ketika ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Senin (20/5).
Namun, kalau dilihat pada kuartal kedua, eskalasi antara Amerika dengan Cina tidak hanya dari sisi perang dagang. Terjadi kompetisi strategis pada kedua negara untuk bidang teknologi yang menimbulkan eskalasi risiko. Oleh karena itu, Sri mengatakan, pemerintah waspada melihat dinamika pada 2020 yang belum tentu lebih baik dibandingkan 2019.
Di luar eskalasi Amerika dengan Cina, Sri menambahkan, terjadi peningkatan eskalasi di negara lain seperti Timur Tengah dan Iran. "Ini semua menyebabkan kenaikan dari ketidakpastian," ucapnya.
Sri memastikan, asumsi makro dari pemerintah masih dalam range yang mencakup risiko terendah hingga tertinggi. Cakupannya terbilang lebar, baik dari sisi pertumbuhan ekonomi, harga minyak hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.