REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak naik sekitar satu persen pada penutupan perdagangan Jumat (14/6). Kenaikan terjadi setelah serangan terhadap dua kapal tanker minyak di Teluk Oman pekan ini menimbulkan kekhawatiran tentang potensi gangguan pasokan. Meski demikian, harga tetap di jalur kerugian mingguan karena kekhawatiran sengketa perdagangan akan mengurangi permintaan minyak global.
Minyak mentah Brent untuk pengiriman Agustus, naik 0,70 dolar AS atau 1,1 persen menjadi ditutup pada 62,01 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juli naik 0,23 dolar AS atau 0,4 persen menjadi menetap pada 52,51 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
Serangan terhadap kapal tanker minyak di dekat Iran dan Selat Hormuz mendorong kenaikan harga minyak sebanyak 4,5 persen pada Kamis (13/6). Ini adalah kedua kalinya dalam sebulan kapal tanker diserang di zona terpenting dunia untuk pasokan minyak ketika keteganganantara Amerika Serikat dan Iran meningkat. Washington menyalahkan Iran atas serangan Kamis (13/6) mendorong penolakan dan kritik dari Teheran.
Pada Jumat (14/6) seorang pejabat AS mengatakan kapal cepat militer Iran di Teluk Oman mencegah dua kapal tunda milik swasta dari menarik salah satu kapal tanker yang rusak. "Kemungkinan apa yang telah kita lihat (di Timur Tengah) selama beberapa hari terakhir dapat menghebat ke akhir pekan dan pedagang enggan mengambil posisi jangka pendek di depan itu," kata Anthony Headrick, analis pasar energi di CHS Hedging LLC di Inver Grove Heights, Minnesota.
Namun, minyak Brent mencatat penurunan mingguan sekitar dua persen. Penurunan ini tercatat sebagai penurunan mingguan keempat berturut-turut, sementara minyak mentah AS (WTI) kehilangan hampir tiga persen.
"Prospek permintaan yang memburuk menahan harga, meskipun ada ketegangan ini," kata John Kilduff, mitra di Again Capital LLC di New York.
Perlambatan kondisi ekonomi telah menahan pertumbuhan permintaan, membayangi ketegangan yang sedang berlangsung antara AS dan Iran, kata Kilduff. Akibatnya, harga mungkin terjebak dalam pola bertahan.
Badan Energi Internasional (IEA) memangkas perkiraan pertumbuhan permintaan untuk 2019 sebesar 100.000 barel per hari (bph) menjadi 1,2 juta barel per hari, mengutip prospek yang memburuk untuk perdagangan dunia. Namun, lembaga yang berbasis di Paris itu mengatakan pihaknya memperkirakan pertumbuhan permintaan akan naik menjadi 1,4 juta barel per hari pada tahun 2020.
Pada Kamis (13/6) Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) memangkas perkiraan 2019 untuk pertumbuhan permintaan minyak global bahkan lebih rendah dari IEA, menjadi 1,14 juta barel per hari. Di sisi pasokan, sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela, pakta pemangkasan produksi oleh OPEC plus sekutunya, perang di Libya dan serangan terhadap kapal tanker di Teluk Oman hanya menambah ketidakpastian pasokan, kata IEA. Peningkatan pasokan AS, serta kenaikan dari Brasil, Kanada, dan Norwegia, akan berkontribusi pada peningkatan pasokan non-OPEC sebesar 1,9 juta barel per hari tahun ini dan 2,3 juta barel per hari pada tahun 2020.
Ketegangan di Timur Tengah telah meningkat sejak Presiden AS Donald Trump menarik diri dari pakta nuklir multinasional 2015 dengan Iran dan menerapkan kembali sanksi, terutama yang menargetkan ekspor minyak Teheran. Iran, yang menjauhkan diri dari serangan sebelumnya, mengatakan tidak akan takut dengan apa yang digambarkannya sebagai perang psikologis.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan Amerika Serikat telah menilai bahwa Iran berada di balik serangan pada Kamis (13/6). Militer AS kemudian merilis video yang katanya menunjukkan Pengawal Revolusi Iran mengambil ranjau yang tidak meledak dari sisi kapal tanker minyak milik Jepang.