REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan, kebutuhan investasi pada 2020 adalah Rp 5.802,6 triliun hingga Rp 5.823,2 triliun. Nominal tersebut dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5,3 sampai 5,6 persen, target yang sudah ditetapkan pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menuturkan, pemerintah harus memperbaiki permasalahan dasar untuk mencapai target kebutuhan investasi tersebut. Salah satunya, sistem online single submission (OSS) yang sudah diresmikan pemerintah sejak beberapa waktu lalu. "Perbaiki perizinan terpadu OSS dengan perizinan satu pintu di daerah," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (14/6).
Bhima menilai, selama ini, beberapa daerah masih belum sinkron dengan OSS. Hal ini berdampak memperlambat proses izin investasi, terutama dari segi prosedur administrasi. Dampaknya, insentif fiskal yang ditargetkan menjadi daya tarik untuk mendatangkan investasi belum mampu dinikmati para calon investor secara maksimal.
Namun, bukan berarti insentif fiskal ditinggalkan begitu saja. Bhima menuturkan, pemerintah kini tetap harus fokus memberikan insentif fiskal, terutama sektor tekstil dan pakaian jadi. Sebab, ada peluang relokasi industri dari Cina akibat perang dagang dengan Amerika Serikat (AS).
"Insentif berupa diskon tarif listrik di jam-jam puncak produksi, misalnya," ucapnya.
Selain itu, Bhima menambahkan, pemerintah perlu mendorong peningkatan belanja modal pada APBN 2020. Caranya dengan realokasi anggaran belanja pegawai dan belanja barang. Semakin tinggi belanja modal, terutama untuk membangun infrastruktur, akan berpotensi meningkatkan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi.
Tidak kalah penting, Bhima menjelaskan, evaluasi 16 paket kebijakan harus dilakukan. Di antaranya insentif tax holiday dan tax allowances. Pemerintah perlu mempertimbangkan cara baru untuk mendapatkan investasi, yakni 'jemput bola' mendatangi calon investor. "Jangan pasif," katanya.
Dari total kebutuhan investasi, sekitar 72 persen di antaranya, atau sekitar Rp 4.205 triliun hingga Rp 4.221,3 triliun berasal dari swasta/ masyarakat. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, besaran persentase tersebut memperlihatkan bahwa peranan investasi swasta menjadi sangat penting untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, kebijakan yang berhubungan dengan investasi menjadi kunci utama. "Apakah itu perbaikan infrastruktur, produktivitas tenaga kerja hingga pasar tenaga kerja," tutur Sri dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (13/6).
Selain itu, Sri menambahkan, kebijakan untuk simplifikasi regulasi yang dapat berdampak positif bagi investasi terus dilaksanakan. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan juga akan menggunakan instrumen fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka mendukung kebutuhan investasi tersebut.