REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada Mei sebesar 102,61 atau naik 0,38 persen dibanding dengan NTP bulan sebelumnya. Hal ini mengindikasikan tingkat kemampuan atau daya beli petani meningkat. Sebab, NTP sendiri merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan petani di pedesaan dan menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan baran dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, kenaikan NTP karena indeks harga yang diterima petani mengalami kenaikan sebesar 0,86 persen. Nilai tersebut lebih tinggi dibanding dengan kenaikan indeks harga yang dibayar petani, yakni 0,48 persen. "Pola ini sama seperti tahun-tahun sebelumnya, di mana setelah ada panen raya," ujarnya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (10/6).
Dilihat dari subsektor, hampir seluruhnya mengalami peningkatan, kecuali tanaman pangan. NTP tanaman hortikultura naik 1,42 persen, sementara tanaman perkebunan 0,43 persen, peternakan 0,83 persen dan perikanan 0,37 persen. Di sisi lain, subsektor tanaman pangan turun 0,55 persen.
Suhariyanto menyebutkan, penurunan tersebut terjadi karena indeks harga yang diterima petani tanaman pangan menurun, sedangkan harga yang dibayar naik. Ini terjadi karena adanya penurunan harga gabah setelah masa panen raya panjang sampai April. "Stok masih besar, sehingga harga gabah kering giling (GKG) dan gabah kering panen (GKP) menurun, meskipun tipis," ujarnya.
Kondisi serupa juga terjadi pada subsektor di Nilai Tukar Usaha Pertanian (NUTP). Subsektor tanaman pangan mengalami penurunan NTUP 0,21 persen, sedangkan subsektor lain naik. Di antaranya hortikultura yang naik 1,72 persen, peternakan 1,03 persen dan perikanan 0,70 persen. Suhariyanto menuturkan, penurunan harga gabah turut menjadi faktor penyebab kondisi ini.
NTUP sendiri hampir sama dengan NTP, hanya saja komponen indeks harga yang dibayar petani hanya meliputi biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM). Secara keseluruhan, pada Mei 2019, NUTP naik sebesar 0,73 persen secara month to month (mtm). Penyebabnya, indeks harga yang diterima petani naik 0,86 persen, lebih tinggi dari kenaikan indeks BPPBM sebesar 0,13 persen.
Suhariyanto menyebutkan, penurunan harga gabah terjadi di tingkat petani ataupun penggilingan. Rata-rata harga GKP di petani Rp 4.356 per kilogram, turun 0,02 persen. Sementara itu, di tingkat penggilingan, harganya Rp 4.445 per kilogram, turun 0,01 persen. Ini dibandingkan harga gabah kualitas yang sama pada bulan sebelumnya.
Untuk GKG, rata-rata harganya di tingkat petani Rp 5.172 per kilogram atau naik 0,88 persen dan di tingkat penggilingan Rp 5.298 per kilogram atau naik 1,47 persen. Sementara itu, harga gabah kualitas rendah di tingkat petani Rp 4.022 per kilogram turun 0,01 persen, di tingkat penggilingan Rp 4.118 per kilogram atau turun 0,01 persen.
Tidak hanya gabah, beras dari berbagai kualitas juga mengalami penurunan harga. Rata-rata harga beras premium di penggilingan Rp 9.462 per kilogram, turun 0,03 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Untuk kualitas medium, rata-ratanya Rp 9.143 per kilogram, turun 0,02 persen. Beras kualitas rendah juga turun 0,19 persen, jadi Rp 8.953 per kilogram.
Suhariyanto menjelaskan, harga beras mengalami penurunan karena stoknya yang masih cukup dalam kualitas bagus pascapanen raya. Penurunan komoditas ini turut memberikan sumbangan deflasi Mei 2019. "Kontribusinya 0,02 persen," ucapnya.