REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) beberapa waktu lalu merilis kenaikan nilai tukar pertanian (NTP) dan nilai tukar usaha pertanian (NTUP) naik sejak empat tahun terakhir.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan, dari indeks lahan yang ada di Indonesia sebesar 0,6, mayoritasnya dimiliki oleh pemilik lahan sebesar 70 persen. Sedangkan petani yang sekaligus menjadi penggarap lahannya, hanya memiliki kepemilikan sebesar 30 persen.
Itu artinya, kata dia, kenaikan NTP dan NTUP meski menguatkan rupiah secara riil namun tidak berdampak menyeluruh kepada petani. “Misal gini, NTP itu kan nilai gabai yang dijual. Begitu dijual, ini akan dibagi-bagi hasilnya. Kalau petani itu pemilik lahan satu-satunya, bisa besar keuntungannya. Tapi mayoritas lahan yang ada bukan milik petani,” kata Rusli saat dihubungi Republika, Ahad (9/6) malam.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), dalam periode 2014 hingga 2018 terjadi kenaikan NTP. Dari acuan tersebut, pada 2012 NTP berada di posisi 102,03 sedangkan pada 2018 berada di posisi 102,46.
Sedangkan kenaikan NTUP terpantau dari sebelumnya 106,05 pada 2014, meningkat menjadi 111,83 pada 2018.
Dia juga menjelaskan, kenaikan NTP dan NTUP juga ditopang oleh berbagai fasilitas pendukung seperti bantuan dana desa dan pembangunan infrastruktur. Adapun pembangunan infrastruktur pertanian meliputi pembangunan irigasi, embung, hingga jalur distribusi dari dan keluar lahan.
Dari faktor tersebut, Rusli mengatakan wajar jika NTP dan NTUP mengalami kenaikan dalam kurun empat tahun terakhir. Itulah mengapa, kata dia, terdapat alasan berdasarkan pengamatan Indef beberapa waktu lalu bahwa dana desa justru menyebabkan melonjaknya ketimpangan di pedesaan.
Hal itu disebabkan, secara tidak langsung yang menikmati dana desa serta pembangunan infrastruktur pertanian justru para pemilik lahan dan bukan mayoritas keluarga petani.
Meski begitu dia menilai, sektor pertanian di mata petani hanya diartikan sebagai subsistensi, atau bukan lahan pekerjaan utama. “Jadi para petani hanya fokus membudidayakan suatu komoditas dalam jumlah yang cukup untuk dikonsumsi sendiri, dan untuk tabungan biasanya,” kata dia.