Jumat 07 Jun 2019 04:11 WIB

Indonesia Perluas Pasar Kakao di Uni Eropa

neraca perdagangan Indonesia untuk produk kakao menunjukkan tren positif.

Rep: Novita Intan/ Red: Andri Saubani
Warga menunjukkan biji kakao saat proses penjemuran di Teluk Raya, Kumpeh Hulu, Muarojambi, Jambi, Jumat (19/4/2019).
Foto: Antara/Wahdi Septiawan
Warga menunjukkan biji kakao saat proses penjemuran di Teluk Raya, Kumpeh Hulu, Muarojambi, Jambi, Jumat (19/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, BELGIA -- Produk perkebunan merupakan andalan kekuatan ekspor komoditas pertanian Indonesia di pasar Uni Eropa. Salah satu komoditas unggulan adalah coklat atau kakao.

Atase Pertanian Indonesia (ATANI) untuk Belgia di Kota Brussel, Wahida mengatakan,  neraca perdagangan Indonesia untuk produk kakao dan turunannya menunjukkan tren yang positif dari tahun ke tahun.

“Tahun 2018 ekspor kakao Indonesia ke Uni Eropa mencapai 215,2 juta dolar AS. Naik sebanyak 22 persen dibandingkan nilai ekspor 2017 yakni sebesar 201,7 juta dolar AS,” ujarnya dalam keterangam tulis yang diterima Republika, Senin (3/6).

Menurutnya angka ini baru 1 persen dari total nilai impor Uni Eropa (UE) untuk produk kakao dan turunannya, yang mencapai 27,4 miliar dolar AS. Negara importir kakao ke UE terbesar adalah Pantai Gading (4 miliar dolar AS), Ghana (1,5 miliar dolar AS) dan Nigeria (672 juta dolar AS).

Berdasarkan data yang dilansir oleh Eurostat, Uni Eropa merupakan negara pengkonsumsi kakao terbesar di dunia, yakni sebesar 8-9 kg per kapita per tahun. “Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan volume ekspor kakao dan produk turunannya yang berkualitas dan sustainable,” ucapnya.

Pada kesempatan yang sama Atase Perdagangan KBRI di Brussel, Merry Astrid Indriasari menambahkan, pengamanan akses pasar komoditi strategis melalui liberalisasi tarif menjadi kunci dalam perundingan IEU CEPA. Hal ini diyakini juga bisa mendorong laju ekspor komoditi kakao dan produk turunannya ke pasar UE, hingga saat ini, Indonesia telah mengusulkan penawaran awal untuk lebih dari 10 ribu pos tarif, termasuk di dalamnya kakao dan produk turunannya.

“Kita harapkan ini bisa mempercepat proses negosiasi untuk mengejar ketertinggalan dengan negara ASEAN lainnya yang sudah memiliki FTA dengan UE,” ucapnya.

Di dalam negeri permintaan akan biji kakao sebenarnya juga meningkat. Atase Pertanian KBRI Brussel, Wahida menyebutkan, selain mengekspor biji kakao, saat ini industri pengolahan biji kakao untuk re-ekspor juga sedang berkembang di dalam negeri.

Sebagai catatan 2018 Indonesia mengimpor biji kakao sebanyak 240 ribu ton dengan nilai impor mencapai 528 juta dolar AS. Biji kakao nasional yang tersedia masih belum mampu mencukupi kapasitas terpasang industri olahan kakao.

“Pabrik-pabrik pengolahan kakao mengolah biji kakao menjadi intermediate goods untuk selanjutnya diekspor ke negara-negara konsumen utama seperti Eropa, Amerika Serikat dan Jepang,” jelasnya.

Menurutnya, saat ini cacao butter masih menjadi produk unggulan ekspor Indonesia dengan volume ekspor mencapai 24.6 ribu ton pada 2018.  “Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian telah melakukan berbagai macam upaya untuk mengangkat kejayaan kakao nasional,” ungkapnya.

Salah satunya dengan transfer teknologi untuk pengendalian pengakit vascular - streak dieback (VSD) dan Phytopthora Pod Rot Disesase pada tanaman coklat. Selain dana pemerintah, industri kakao terkemuka di Eropa, Mondelez menyatakan ketertarikannya untuk mendanai proyek ini. Proyek ini akan melibatkan para peneliti dari Pusat Penelitian Tanaman Kakao dan Kopi (Puslitkoka) di Jember dan diharapkan akan dapat dilaksanakan dalam 1-2 tahun mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement