Rabu 29 May 2019 15:15 WIB

Alasan Bawang Putih Lokal Lebih Mahal daripada Asal Cina

Kualitas bawang putih lokal tak kalah dari bawang putih Cina.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolanda
Pedagang membawa karung yang berisi bawang putih saat operasi pasar di Pasar Kosambi, Kota Bandung, Jumat (10/5).
Foto: Abdan Syakura
Pedagang membawa karung yang berisi bawang putih saat operasi pasar di Pasar Kosambi, Kota Bandung, Jumat (10/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bersama PD Pasar Jaya menggelar bazar Ramadan untuk komoditas bawang putih dan minyak goreng. Kegiatan ini juga memperkenalkan bawang putih lokal.

Direktur Usaha dan Pengembangan Pasar Jaya Anugrah Esa mengatakan selama ini pemerintah masih mengandalkan bawang putih impor dari Cina dan India. Bawang putih yang beredar di pasar induk lebih dari 90 persen impor. 

Baca Juga

"Awal bulan kemarin harga bawang putih bergejolak, meski sekarang sudah stabil Rp 24 ribu sampai Rp 25 ribu per kilogram,” ujarnya di Pasar Santa, Jakarta, Rabu (29/5).

Untuk itu, pihaknya bersama Kadin Indonesia memperkenalkan bawang putih lokal. Diharapkan, bawang putih lokal dapat mendominasi dan pemain utama di Indonesia.

“Bawang putih lokal kualitasnya bagus dan Indonesia kaya dengan rempah-rempah juga pasti bisa jadi swasembda bawang putih,” ucapnya.

Pada kesempatan sama, PT Bulirpadi Lintas Nusantara bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Bawang, Jawa Tengah mendorong swasembda bawang putih. Salah satu yang dilakukan dengan memulai budidaya bawang putih lokal di sejumlah daerah di Indonesia.

Direktur PT Bulirpadi Lintas Nusantara Stephen Lo menambahkan kualitas bawang putih lokal tidak kalah dengan impor yang dari Cina. Perbedaan iklim, yakni subtropis (di Tiongkok) tidak menghasilkan bawang putih dengan rasa pedas seperti yang dihasilkan di Indonesia yang beriklim tropis.

“Ketentuan mengenai angka 5 persen dari nilai impor bawang putih, dihitung bukan dari hasil panen, melainkan luas lahan yang ditanami. Misalkan, nilai impor 10 ribu ton, berarti 500 hektare untuk cocok tanam atau budidaya bawang putih,” jelasnya.

Asumsi Bulirpadi, satu hektare lahan perkebunan menghasilkan sekitar 6 ton per hektare bawang putih. Angka tersebut sempat menjadi acuan Kementerian Pertanian (Kementan), walaupun kadang (diasumsikan) sampai 8 ton. 

"Enam ton bawang putih tersebut dianggap kering, walaupun banyak yang kondisinya basah, 60 persen dari keseluruhan bawang putih yang basah, hanya sekitar 60 persen yang kering (setara dengan 3,6 ton). Angka ini masih jauh di bawah rata-rata angka produksi bawang putih di Cina, yakni 24 ton (basah) per hektare,” ungkapnya.

Dia menjelaskan bawang putih yang ada di pasaran dalam negeri Indonesia, impor dari Cina adalah hasil produksi di provinsi Shandong. Kondisi geografis yakni pegunungan, beriklim dingin. 

Selain, petani di Shandong menggunakan zat-zat untuk menumbuhkan bawang putih lebih besar. Walaupun untuk rasa, bawang putih di Shandong kurang pedas daripada yang dihasilkan di Indonesia. 

“Zat tersebut tidak fungsional untuk produk herbal atau jamu yang khas diproduksi di Indonesia,” ucapnya.

Sementara bawang putih untuk konsumsi rumah tangga termasuk bumbu masak, perbandingannya 1:2. artinya, bawang putih impor harus dua kali lebih banyak dibandingkan bawang putih asal Indonesia untuk memenuhi fanatisme lidah orang Indonesia.

Di samping itu, cocok tanam bawang putih harus di atas 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Idealnya untuk menghasilkan produksi yang maksimal, lahan harus berada di atas 1.200 mdpl.

Harga bibit bawang putih di Indonesia relatif mahal, yakni Rp 100 ribu, sebagai perbandingan, bibit di Tiongkok hanya sekitar Rp 35 sampai 40 ribu. Sehingga biaya cocok tanam bawang putih relatif mahal. 

“Kalau cocok tanam di atas lahan satu hektare, dibutuhkan bibit sebanyak 500 kilogram bawang putih. Angka tersebut menghasilkan Rp 70 ribu setara Rp 35 juta,” ungkapnya.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement