Senin 20 May 2019 17:02 WIB

Indef: Insentif Fiskal yang Dibutuhkan Adalah Quick Win

Insentif fiskal yang diberikan selama ini berorientasi jangka panjang.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (15/5/2019). Badan Pusat Statistik mencatat nilai ekspor pada April 2019 sebesar 12,6 miliar dolar AS atau turun 13,1 persen year on year dibandingkan April 2018 senilai 14,49 miliar dolar AS.
Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (15/5/2019). Badan Pusat Statistik mencatat nilai ekspor pada April 2019 sebesar 12,6 miliar dolar AS atau turun 13,1 persen year on year dibandingkan April 2018 senilai 14,49 miliar dolar AS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan, pemerintah masih harus melakukan pembenahan terhadap insentif fiskal. Sebab, insentif fiskal yang selama ini ada di paket kebijakan ekonomi lebih berorientasi jangka panjang. Ada jeda cukup lama antara manfaat investasi yang masuk dengan fasilitas tax holiday yang diberikan. 

Jeda tersebut dikarenakan investasi jangka panjang. Dampaknya, dampak positif yang diharapkan pemerintah terhadap industri terjadi cukup lama. Terlebih, jika di tengah perjalanan, terjadi dinamika yang berpotensi mengganggu proses investasi. "Seperti pendirian pabrik membutuhkan waktu lima hingga 10 tahun untuk merealisasikan investasinya," ucap Bhima ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (20/5). 

Baca Juga

Bhima juga menilai, insentif fiskal selama ini hanya ditujukan untuk memberikan gula-gula pada investor yang baru mau masuk. Sedangkan, perusahaan domestik yang sudah ada malah kurang mendapatkan insentif. Kondisi ini menimbulkan pertumbuhan bisnis yang kurang seimbang. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap insentif fiskal yang ada dan orientasi diubah untuk mendorong sektor dalam negeri yang sudah ada. 

Insentif yang dibutuhkan pun tidak melulu berupa pemotongan pajak penghasilan (PPh) badan, bisa juga menurunkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) hingga nol persen, misalnya untuk pembelian mesin sektor berorientasi ekspor. Atau, pemerintah dapat menurunkan pajak UMKM menjadi nol persen untuk sementara waktu. 

Tidak kalah penting, Bhima mengatakan, pemerintah seharusnya dapat membebaskan bea keluar untuk komoditas unggulan. Apabila kinerja ekspor sudah mulai pulih, insentif dapat ditarik kembali.  Jadi, yang sifatnya quick win memang lebih dibutuhkan saat ini. "Tanpa tunggu lebih lama," tuturnya. 

Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Adrianto mengatakan, pemerintah terus memberikan insentif fiskal guna mendorong daya saing investasi dan ekspor. Tujuannya, memperbaiki keseimbangan eksternal. Upaya ini juga diharapkan mendorong peningkatan tax ratio 2020 hingga mencapai 11,8 sampai 12,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). 

Untuk mendorong pertumbuhan tahun depan, Adrianto mengatakan, pemerintah akan terus mensosialisasikan insentif yang sudah ada sekarang ke para investor. Tapi, menurutnya, yang dibutuhkan saat ini bukan insentif fiskal saja. "Tapi reformasi birokrasi juga penting untuk memperkuat fondasi pertumbuhan," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement