REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejumlah pemerintah daerah meminta revisi kebutuhan pupuk. Sebab jumlah kebutuhan para petani untuk bercocok tanam tersebut tidak sesuai dengan data yang disetorkan pemerintah daerah.
Hal ini dilakukan pemerintah provinsi Sumatra Utara. Gubernurnya, Edy Rahmayadi, sudah mengirim surat kepada Kementerian Pertanian (Kementan) agar jumlah pupuk bersubsidi untuk daerahnya ditambah.
Petugas dari PT Petrokimia Gresik (PG) melakukan pengecekan terkait ketersediaan stok pupuk bersubsidi
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan M Azhar mengatakan, pengurangan alokasi pupuk berawal dari penetapan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN bahwa lahan di Sumut berkurang 171.000 hektare.
"Data ini yang menjadi acuan Kementan mengalokasikan pupuk bersubsidi. Sementara setelah kita lakukan pendataan di lapangan berdasarkan data seluruh PPL dan ditandatangani kepala desa dan camat, total lahan sawah kita 397.000 hektar, hanya kurang 37.000 hektar,” ucap Azhar.
Keluhan yang sama juga disampaikan pemerintah Kabupaten Barito Kuala beberapa waktu lalu. Dinas Pertanian Batola yang diwakili Sri Haryani, menyatakan jatah pupuk subsidi untuk Batola pada 2018 sebanyak 9.000 ton dan pada 2019 hanya mendapatkan 3.000 ton atau ada pengurangan 6.000 ton. Ini akibat berkurangnya luas baku lahan yang semestinya 100.000 hektar menjadi tinggal 35.000 hektar berdasarkan data BPN.
“Kita sudah melayangkan klarifikasi ke Dinas Pertanian Provinsi Kalsel. Masa Batola sebagai lumbung padi terbesar di Kalsel cuma mencapatkan jatah pupuk 3.000 ton saja. Padahal, sebelumnya 9.000 ton,” katanya saat itu.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, Sarwo Edhy mengatakan dari segi volume ada sedikit pengurangan jumlah pupuk bersubsidi. Pasalnya Kementan harus menyesuaikan dengan hitungan BPS. Tahun ini alokasi yang disiapkan sebesar 9,1 juta ton dengan anggaran 29 triliun pada 2019.
Pengurangan alokasi pupuk bersubsidi juga dialami Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Pada tahun 2019 ini, alokasi pupuk berkurang menjadi 9.006,8 ton dibandingkan tahun 2018 sebesar 10.525 ton.
“Berdasarkan data luas lahan sawah antara BPS dan Pertanian ternyata berbeda cukup signifikan, yaitu 2.525 hektare (ha) dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) langsung dikirim secara daring ke pusat oleh petugas kelompok, sehingga mempengaruhi jatah alokasi pupuk,” kata Kepala Bidang Sarana Prasarana Dinas Pertanian Solok Selatan, Zamzami beberapa waktu lalu.
Dia menyebutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), luas lahan sawah Solok Selatan hanya 7.700 ha, sedangkan data pemerintah daerah mencapai 10.225 ha. Permasalahan ini terjadi hampir di seluruh Indonesia, sehingga pemerintah daerah disarankan membuat surat baru yang ditandatangani BPN, BPS dan Pertanian terkait luas lahan.
Apabila kuota ini tidak ditambah, maka akan terjadi kelangkaan di akhir tahun atau kehabisan stok di tingkat pengecer. Sehingga berpengaruh pada produksi pertanian, baik padi maupun jagung.
Pada tahun lalu, berdasarkan pemotretan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Informasi Geospasial (BIG), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) luas lahan baku sawah Indonesia turun menjadi 7,1 juta hektare, dari 7,75 juta hektare pada 2013.
Data yang diterbitkan oleh BPN dan BPS ini menjadi acuan baru dalam perhitungan produksi beras nasional. Hal ini tentu saja berimbas pada alokasi subsidi berupa sarana dan prasarana produksi yang diberikan oleh pemerintah.
Pada tahun 2019, Kementerian Pertanian diketahui telah menyesuaikan alokasi pupuk bersubsidi dan benih. Namun ternyata hal ini memberikan dampak bagi beberapa daerah. Tercatat beberapa daerah mengalami penurunan luas baku lahan pertanian, sehingga bantuan subsidi yang diterima menurun juga.