Ahad 12 May 2019 09:08 WIB

Indonesia Sulit Keluar dari Belt Road Initiative Cina

Penting untuk diversifikasi investor luar Cina dan tujuan ekspor non-Cina.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Budi Raharjo
Peta one belt one road, obor yang merupakan jalur sutra baru dinisiasi Cina
Foto: linkedin
Peta one belt one road, obor yang merupakan jalur sutra baru dinisiasi Cina

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Cina semakin gencar mengembangkan Belt Road Initiative (BRI) di Indonesia. Bahkan saat ini, ekonomi Indonesia sudah semakin terbuka untuk Cina.

Kebijakan BRI dimulai saat Cina masuk dalam perdagangan bebas ASEAN. Keterbukaan Indonesia terhadap Cina dibuka sejak perjanjian antar ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) pada 1 Januari 2010, dimana ditandatangani persetujuan pada tahun November 2004 dan direvisi pada tahun 2006 dan 2010.

Kesepakatan ini berlaku efektif pada 1 Januarry 2012 untuk produk barang dengan status “Normal Track”. Artinya, produk yang dikatakan dapat normal diperdagangkan antar negara dan bukan  produk “sensitive” yang diperdagangkan antar negara. Sementara keterbukaan untuk sektor Jasa ditandangani pada tahun 2007 dan fasilitasi investasi antar negara ASEAN dan China ditandatangani sejak 2009.

"Sejak kesepakatan ini ditandatangani,  ekonomi Indonesia semakin terbuka terhadap Cina," ujar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad dalam diskusi dengan media, Sabtu (11/5) malam.

Dimulai tahun 2013 hingga 2018, investasi yang berasal dari Tiongkok naik pesat rata-rata 98 persen pertahun dan dari Taiwan rata-rata sebesar 49,87 persen. Sementara investor tradisional Indonesia yakni Singapura hanya tumbuh 16,49 persen, Malaysia 42,85 persen, Jepang 8,62 persen, Korea Selatan 3,17 persen, dan Amerika Serikat malah minus (-)3,04 persen. Ini artinya, peran Cina semakin besar bagi Indonesia sejak kesepakatan tersebut dibuat.

Meskipun demikian pada Januari 2013 hingga April 2019, investasi Cina dan Taiwan berjumlah 20,38 miliar dolar AS (11,4 persen). Angka itu masih berada di bawah Singapura yang sebesar 44,97 miliar dolar AS (25,2 persen) serta Jepang yang sebesar 26,9 miliar dolar AS (15,1 persen). Amerika sendiri investasinya hanya sebesar 8,9 miliar dolar AS (5,0 persen).

Dari angka tersebut dapat terlihat, dalam jangka lima tahun Cina dapat menyusul Jepang sebagai investor kedua terbesar di Indonesia. Dan kemungkinan dalam janga panjang akan sebagai investor terbesar (pertama) di Indonesia menggantikan Singapura.

"Artinya kita semakin sulit keluar dari tawaran BRI karena peran Cina sudah terlampau besar. Jadi penting bagi kita untuk diversifikasi investor luar Cina dan tujuan ekspor non-Cina," tuturnya.

Sementara dari sisi perdagangan, Cina adalah mitra terbesar Indonesia saat ini dibandingkan dengan negara mitra dagang utama Indonesia, baik Singapura,  Amerika dan Jepang. Ekspor Indonesia ke Cina sejak 2014 hingga 2018 rata-rata sebesar 18,1 miliar dolar AS dengan pertumbuhan sebesar 13,47 persen.

Sementara Impor pada kurun waktu yang sama sebesar 34,2 miliar dolar AS dengan pertumbuhan sebesar 10,37 persen, atau dalam kurun waktu yang sama, defisit perdagangan Indonesia mencapai sebesar 16,1 miliar dolar AS.  

"Ini tentu sangat membahayakan apalagi pada saat perang dagang, maka ekspor kita akan menurun, mengingat banyak produk kita yang berbasis sumberdaya alam merupakan dalam bentuk produk antara, baik CPO, Produk Kayu, Produk Karet dan sebagainya," jelasnya.

Ekonom INDEF Moh. Zulfikar menambahkan, salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah harus pandai mengarahkan investasi Cina ke sektor-sektor yang dapat menguntungkan atau dapat kita ekspor ulang seperti pertanian.

"Cina juga lagi gencar di sektor Islamic Finance. Ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia," kata Zulfikar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement