Jumat 10 May 2019 20:59 WIB

AS Resmi Naikkan Tarif, China Siap Membalas

AS memutuskan menaikkan tarif bea impor Cina sebelum negosiasi hari kedua dimulai.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Budi Raharjo
Perang dagang AS dengan Cina
Foto: republika
Perang dagang AS dengan Cina

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina memasuki babak baru. Pemerintah AS resmi memberlakukan kenaikan tarif sebesar 25 persen dari 10 persen terhadap barang-barang impor asal Cina senilai 200 miliar dolar AS. Kebijakan ini mulai diterapkan pada Jumat (10/5) pukul 00.01 waktu Washington atau sekitar pukul 11.01 WIB.

Kementerian Perdagangan Cina mengatakan, pihaknya sangat menyesal atas keputusan AS dan berjanji untuk menyerang balik. Hal ini meningkatkan ketegangan, mengingat kedua belah pihak sedang mengejar pembicaraan terakhir untuk menyelamatkan kesepakatan perdagangan selama dua hari terakhir.

Wakil Perdana Menteri Cina Liu He, Perwakilan Dagang AS Robert Lightizher dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin diketahui sudah berbicara selama 90 menit pada Kamis (9/5). Mereka berupaya mencari jalan keluar atas perang dagang yang sudah berjalan selama 10 bulan terakhir. Dilansir di Economic Times, Jumat, mereka diperkirakan akan melanjutkan pembicaraan pada Jumat.

Kementerian Perdagangan mengatakan, negosiasi akan terus berlanjut. Mereka berharap, kedua negara dapat bertemu di tengah jalan, melakukan upaya bersama dan menyelesaikan masalah ini melalui kerja sama dan konsultasi.

Tapi, pemerintahan Trump memutuskan untuk menaikkan tarif bea impor Cina sebelum negosiasi hari kedua dimulai. Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS pun memberlakukan bea masuk 25 persen terhadap kargo dari Cina yang masuk ke AS setelah pukul 00.01 waktu setempat. Untuk barang yang sudah masuk sebelum tengah malam tetap dikenakan tarif bea asli 10 persen.

Masa tenggang tidak diterapkan seperti pada tiga putaran tarif pada tahun lalu yang diberlakukan terhadap barang-barang Cina. Saat itu, pemerintah AS memberikan jeda tiga minggu antara waktu pengumuman dengan waktu penerapan bea masuk.

Bank Investasi Goldman Sachs mengatakan, langkah terbaru ini kemungkinan berlangsung selama beberapa pekan ke depan. Sementara itu, negosiasi akan terus berlanjut untuk menghasilkan ‘soft’ deadline tertentu demi mencapai kesepakatan.

Dengan detail ini, Goldman Sachs menambahkan, sentimen penurunan akan lebih tipis dibanding jika kenaikan tarif berlaku dengan ‘hard’ deadline. "Ini juga akan membuka peluang kedua pihak untuk mencapai kesepakatan dalam beberapa pekan ke depan meski tetap ada tantangan," ujarnya.

Pada penerapan tarif kali ini, Trump memberikan waktu kurang dari lima untuk memberi tahukan kepada para importir di AS. Sektor paling terpengaruh atas kebijakan tersebut adalah modem internet, router dan perangkat transmisi data lainnya senilai 20 miliar dolar AS.

Selanjutnya, printed circuit board senilai 12 miliar dolar AS yang digunakan dalam beragam produk buatan AS. Mebel, produk pencahayaan, suku cadang mobil, penyedot debu dan bahan bangunan juga termasuk dalam daftar produk yang dikenakan biaya lebih tinggi.

photo
Trump mengumbar sanksi ekonomi dan perang dagang.

Chief Executive Consumer Techonology Association Gary Shapiro mengatakan, kenaikan tarif ini akan ditanggung oleh konsumen dan pengusaha AS, bukan China seperti yang diklaim Trump. "Industri kita menyokong lebih dari 18 juta pekerjaan di AS, tapi menaikan tarif akan menjadi bencana," ucapnya dalam sebuah pernyataan

Shapiro menjelaskan, tarif yang sudah diberlakukan sebelumnya telah menambah biaya produksi sektor teknologi AS sekitar 1 miliar dolar AS per bulan sejak Oktober. Hal ini berdampak pada hidup dan mati UKM dan perusahaan rintisan yang tidak menyanggupi tambahan biaya.

Para ekonom dan konsultan industri menjelaskan, dibutuhkan waktu tiga sampai empat bulan untuk konsumen AS merasakan efek kenaikan tarif. Tapi, para peritel hanya memiliki sedikit pilihan, yakni menaikan harga jual untuk menutup kenaikan biaya.

Tanpa perang dagang, hubungan China dan AS terus memburuk. Ketegangan antar kedua negara terjadi di Laut Cina Selatan, Taiwan, hak asasi manusia dan rencana China untuk menciptakan kembali Jalur Sutra yang disebut Belt and Road Initiative.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement