Senin 06 May 2019 05:30 WIB

Perbankan dan Fintech Bersaing Merebut Pasar Indonesia

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi mengembangkan fintech.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
 Seorang nasabah menarik uang tunai dari ATM (Ilustrasi)
Seorang nasabah menarik uang tunai dari ATM (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kemajuan teknologi informasi turut mendorong perubahan dan inovasi pada sektor layanan keuangan. Hadirnya teknologi keuangan alias financial technology (fintech), masyarakat yang dulunya belum tersentuh layanan perbankan (unbanked) kini dapat mengakses produk dan layanan keuangan yang dibutuhkan.

Direktur Komisoner OJK Institute dan Keuangan Digital Sukarela Batunanggar menilai Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi mengembangkan fintech. Tak heran, banyak developer fintech peer to peer (P2P) lending ilegal yang menyasar Indonesia.

Baca Juga

“Indonesia memang pasarnya sangat besar, lalu potensinya juga besar. Potensinya bagus cuma di sisi lain literasi harus ditingkatkan, infrastruktur ditingkatkan, koordinasi lebih baik lagi dan law enforcement lebih baik,” ujarnya kepada wartawan, Ahad (5/5).

Pada Maret 2019, Satgas Waspada Investasi telah menemukan 543 entitas ilegal. Pada tahun sebelumnya ditemukan 404 entitas tak berizin, sehingga secara total Satgas Waspada Investasi telah menangani sebanyak 947 entitas.

“Saat ini sebanyak 106 fintech P2P lending yang sudah terdaftar di OJK. Ini terus meningkat dibandingkan Februari 2019 yang baru berjumlah 99 perusahaan,” ungkapnya.

Nama-nama fintech yang baru terdaftar antara lain PT Akur Dana Abadi (Jembatan Emas), PT Sinergi Mitra Finansial (Kre dible), PT Pinjaman Kemakmuran Rakyat (KlikUM KM), PT Harapan Fintech Indonesia (Klik Kami), PT Idana Solusi Sejahtera (Cairin), PT Empat Kali Indonesia (Empat Kali), dan PT Berdayakan Usaha Indonesia (Batumbu).

Menurutnya beragam fintech hadir memberikan inovasi kepada konsumen antara lain produk pinjaman hingga sistem pembayaran. Per Maret 2019, OJK mencatat transaksi pinjaman online mencapai Rp33,2 triliun, yang disalurkan kepada 6,96 juta penjamin.

Adapun pembiayaan online tersebut naik 46,48 persen sejak awal tahun ini. Nilai outstanding pinjaman sebesar Rp7,79 triliun atau tumbuh 54,34 persen dari awal tahun ini.

“Jumlah rekening peminjam onlie juga naik 59,70 persen dibandingkan awal tahun ini,” jelasnya. Dari sisi jumlah pemberi pinjaman mencapai 272.548 rekening atau naik 31,34 persen dari awal tahun.

Melihat perkembangan fintech yang begitu massif, OJK terus mewaspadai fintech ilegal yang bermunculan di Indonesia. Sebagai catatan, Satgas Waspada Investasi telah memblokir 144 layanan fintech P2P lending ilegal.

Deretan daftar tersebut, China merupakan salah satu penyumbang fintech P2P lending ilegal paling banyak.  “Selama ini regulator di China cenderung lebih fleksibel, lebih open, memberi keleluasaa ruang pertumbuhan yang cenderung ekspansif,” ucapnya.

Untuk itu, pihaknya telah melibatkan asosiasi profesi untuk menangani banjirnya fintech P2P lending ilegal. Merujuk pada Peraturan POJK 77, OJK memiliki tim yang menangani perizinan dan pengawasan terhadap P2P.

“Ada asosiasi yang tidak sekadar sebagai forum koordinasi tapi mereka bertanggung jawab merumuskan standar-standar, kode etik, asosiasi juga menerbitkan namanya ethic lending dan POJK 13 mengamanatkan kepada asosiasi untuk melakukan pengawasan anggotanya yang tidak sesuai yang melanggar etika,” ungkapnya.

Posisi BPR

OJK mendorong industri perbankan dapat mengembangkan teknologi layanan keuangan berbasis digital. Salah satunya Bank Perkreditan Rakyat (BPR), guna menghadapi persaingan bisnis dengan bank umum sekaligus pembenahan pada sistem layanan nasabah BPR.

Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR OJK Ayahandayani mengatakan untuk bisa bersaing, BPR mesti bisa mengadopsi teknologi serta pelayanan. Meski begitu, adopsi ini butuh biaya mahal.

"Sekarang masyarakat bisa menggunakan handpone internet sehingga menuntut layanan lebih cepat. Semua langsung bisa dipegang dengan handpone bisa melakukan transaksi. Pola belanja berubah e-commerce,” ungkapnya.

OJK meyakini BPR akan mampu bersaing dengan industri fintech. Apalagi dari penerapan suku bunga, BPR terbilang lebih rendah dibandingkan dengan fintech yang artinya masyarakat bisa menikmati dana lebih murah.

"Fintech ini jadi persaingan bagi BPR. Tapi kan fintech kalau kita  lihat suku bunganya tinggi 2 persen sampai 3 persen per bulan. Lebih tinggi dibandingkan dengan BPR yang mengacu pada Lembaga Pinjaman Simpanan (LPS) 9,5 persen,” jelasnya.

Ketua Kompartemen BPR Syariah Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Cahyo Kartiko menambahkan untuk menghadapi persaingan dengan fintech BPRS harus memiliki strategi bertahan dan ekspansi. Namun ciri khas BPRS sebagai community banking harus tetap dipertahankan.

“BPRS juga harus memiliki layanan yang setara dengan fintech yang dapat diakses oleh para nasabah agar kedekatan yang telah terjalin dengan nasabah menjadi lebih erat dan dipermudah dengan bantuan teknologi, sehingga nasabah semakin loyal dan tidak tergoda untuk berpindah ke fintech,” ujarnya kepada Republika.

Sementara Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan beberapa BPR menjalin kerja sama dengan pemain fintech. Itu jadi solusi dalam penyaluran kredit karena biaya investasi teknologi keuangan cukup mahal bagi BPR.

“Strategi lain adalah memperkuat customer loyalty, karena loyalitas nasabah sulit direbut dengan fintech,” ujarnya kepada Republika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement