REPUBLIKA.CO.ID, Diasuh Oleh: Dr Oni Sahroni, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI
Assalamualaikum wr wb.
Karena keterbatasan dana cash dan menghindari daftar tunggu yang panjang, kami ditawarkan pembiayaan:
1. Via lembaga keuangan syariah (LKS) dengan menitipkan emas dan kami mencicil pinjaman sejumlah uang tertentu per bulan sesuai kesepakatan, dengan total pembayaran melebihi Rp 25 juta.
2. Mengajukan pembiayaan pada bank syariah sejumlah Rp 25 juta dan membayar cicilan per bulan dengan jumlah dan jangka waktu yang disepakati, dengan total pembayaran juga lebih dari Rp 25 juta. Bagaimana pandangan syariah?
Ibu Aminah, Banten
---
Waalaikumussalam wr wb.
Melakukan pembiayaan haji melalui produk LKS, seperti gadai syariah, pembiayaan pengurusan haji, fee kafalah, atau cara lain sesuai syariah, itu diperkenankan sebagaimana dijelaskan berikut ini:
Pertama, di antara skema yang mungkin dilakukan adalah: (a) Gadai emas, seperti yang dipraktikkan di LKS itu diperkenankan dengan beberapa syarat, di antaranya besaran fee yang menjadi hak perusahaan tidak boleh dikaitkan dengan pokok pinjaman.
Sebagaimana fatwa DSN MUI, "Dan besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan. Serta Biaya penyimpanan barang dilakukan berdasarkan akad ijarah." (Fatwa DSN Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn).
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, "Tunggangan yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan." (HR Jamaah kecuali Muslim dan Al-Nasa'i).
(b) Menggunakan skema pinjaman dan jasa pengurusan haji, bahwa dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa dengan menggunakan prinsip al-ijarah. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh. Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji. Besar imbalan jasa al-ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah. (Fatwa DSN MUI Nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah).
(c) Skema kafalah bil ujrah. Calon jamaah haji yang memiliki kewajiban kepada pihak tertentu, memengajukan pembiayaan kepada bank syariah sebagai penjamin atas kewajibannya tersebut, sekaligus melunasi kewajiban nasabah kepada pihak tersebut. Dengan penjaminan tersebut, LKS berhak menerima fee. Selanjutnya, nasabah membayar kewajibannya secara berangsur sekaligus membayar jasa atas penjaminan LKS tersebut.
Penjaminan tersebut dikenal dengan kafalah bil ujrah sesuai Fatwa DSN MUI No. 11/DSN-MUI/VI/2000 tentang kafalah, dan sesuai dengan pendapat Musthafa al-Hamsyari bahwa imbalan didasarkan pada jasa dignity atau kewibawaan, atau didasarkan pada ju'alah yang dibolehkan dalam mazhab Syafi'i.
(d) Atau cara lain seperti menabung, investasi, dan cara lain yang sesuai prinsip-prinsip syariah.
Kedua, pilihan skema tersebut di atas itu hanya opsi fikih. Oleh karena itu, selanjutnya merujuk pada Fatwa DSN MUI terkait dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, dari sisi nasabah, dengan cara berutang ini, tidak meninggalkan hajat lain yang lebih penting .
Kebutuhan setiap orang itu bertingkat-tingkat. Maka, kebutuhan primer didahulukan dari kebutuhan sekunder dan kebutuhan sekunder didahulukan dari kebutuhan tersier. Sebagaimana tuntunan Rasulullah SAW yang berlaku dalam fikih prioritas (fikih aulawiyat dan fikih muwazanah).
Seperti ibadah haji yang ditunaikan kedua kali yang bersifat sunah itu tidak melalaikan hajat lain yang bersifat wajib dan lebih penting. Semoga Allah meridhai setiap ikhtiar kita.