Senin 15 Apr 2019 17:25 WIB

Neraca Dagang Surplus, Istana: Terpenting Jaga Inflasi

Stabilitas inflasi berpengaruh terhadap biaya produksi, hingga pada harga barang.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Friska Yolanda
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (15/4/2019).
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (15/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istana Presiden melihat surplusnya neraca perdagangan para Maret 2019 menjadi bukti keberhasilan pemerintah dalam menggenjot kinerja ekspor nasional. Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Ahmad Erani Yustika, melihat bahwa capaian neraca perdagangan Maret 2019 yang mengalami surplus sebesar 540 juta dolar AS bisa dicapai karena tiga capaian pemerintah.

Pertama, ujar Erani, adalah upaya menjaga inflasi nasional, sehingga biaya bisnis semakin murah. Menurutnya, stabilitas inflasi berpengaruh terhadap biaya produksi, hingga pada harga barang-barang yang dihasilkan. Bagi perusahaan yang berorientasi ekspor, ujar Erani, penurunan biaya produksi akan meningkatkan daya saing produk di pasar global, sehingga dapat bersaing dan merebut pasar produk dari negara lain. 

Baca Juga

Poin kedua adalah langkah pemerintah dalam mengurangi hambatan ekspor dan memperluas pasar ekspor. Erani memaparkan, salah satu langkah pemerintah untuk menggenjot nilai ekspor adalah lewat negosiasi perdagangan ke negara-negara yang menghambat ekspor, terutama CPO dan batubara. 

"Pemerintah telah berhasil menegosiasi tarif impor CPO dengan India. Sementara itu, upaya perluasan pasar ekspor digagas ke Chili," kata Erani dalam rilisnya, Senin (15/4). 

Ia menjelaskan, produk Indonesia ke Chili bersifat komplementer, sehingga tidak memiliki persaingan berarti. Beberapa produk nonmigas ke Chili adalag alas kaki, mesin, peralatan mekanik, serta pakaian.

Kemudian upaya selanjutnya yang dilakukan pemerintah adalah penghematan BBM yang diikuti oleh program peningkatan energi terbarukan. Pada Maret 2019, nilai impor migas turun tipis sekitar 2,7 persen (mtm/bulan ke bulan), namun sepanjang Januari-Maret 2019, impor migas sudah turun hingga 28,9 persen (yoy/tahun ke tahun). Volume impor migas per Maret turun 11,9 persen (mtm) atau turun 21,36 persen (yoy) sepanjang Januari-Maret 2019. 

"Selain program B20, peningkatan penggunaan energi terbarukan cukup membantu kebergantungan impor migas," katanya. 

Erani menyebut bahwa sejumlah perusahaan dari Swedia dan Asosiasi Pengusaha Indonesia sepakat bekerja sama mencari peluang untuk mengembangkan energi terbarukan di Indonesia. Tahun lalu misalnya, telah beroperasi Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) pertama di Indonesia, di Desa Mattirotasi, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidrap (Sidenreng Rappang), Sulawesi Selatan. Dari 30 unit kincir angin raksasa, saat ini telah dirampungkan sebanyak 22 unit.

Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis raihan neraca perdagangan Maret 2019 mengalami surplus sebesar 540 juta dolar AS. Angka ini didapat dari dari kinerja perdagangan nonmigas yang mengalami surplus 988 juta dolar AS, meskipun migasnya masih defisit 448 juta dolar AS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement