REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Debat Terbuka Kelima Capres dan Cawapres yang digelar pada Sabtu (13/4) malam kemarin, menyinggung terkait bagaimana upaya pemerintah ke depan dalam menggenjot industri halal dan ekonomi syariah di Indonesia. Sementara itu, salah satu hal yang paling dinanti oleh pelaku industri halal saat ini terkait Peraturan Pemerintah Jaminan Produk Halal (PP JPH) yang masih berada di tangan presiden.
PP JPH, sebagaimana dipahami publik saat ini di antaranya bakal mengatur terkait sertifikasi produk halal baik dari usaha besar maupun usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Hal itu juga seiring dengan diwajibkannya seluruh produk halal untuk melakukan sertifikasi pada tahun ini.
Namun, Peneliti Senior Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah, Universitas Indonesia, Banu Muhammad, mengatakan, mengembangkan dan mendorong kemajuan industri halal tidak bisa hanya dengan sertifikasi semata. “Selama ini kita itu tidak benar-benar membangun industri halal, hanya mengurusi sertifikasi saja. Kita salah melihat ini semua,” kata Banu kepada Republika.co.id, Ahad (14/4).
Dosen Fakultas Ekonomi Syariah UI itu mengatakan, perlu ada political will yang besar terhadap industri halal. Hal itu, belum terlihat, karena sejauh ini lembaga yang mengurusi industri produk halal diserahkan kepada Kementerian Agama. “Semestinya ini juga berada di bawah Kementerian Perindustrian dengan bantuan Kemenag. Lintas sektor,” ucapnya.
Berdasarkan penelitian yang ia lakukan, industri halal baik yang terdiri dari keuangan syariah, industri pangan, komestik, pariwisata, hingga sektor garmen sekalipun dapat memberikan kontribusi sebesar 20 persen terhadap total produk domestik bruto (PDB) nasional Indonesia. Karenanya, selama pola kebijakan hanya berkutat pada sertifikasi, sulit untuk mewujudkan industri halal yang kuat.
Ia menyatakan, lebih dari sekadar sertifkasi, pemerintah harus mulai membangun suatu ekosistem halal di Indonesia. Dimulai dari hulu hingga ke tingkat hilir. Dari pelabuhan halal, hingga rantai pasok produk-produk halal yang diproduksi langsung oleh pemain domestik. Di sisi lain, khusus pelaku usaha produk halal agar dapat menjadi prioritas penerima dari lembaga jasa keuangan syariah. Dengan begitu, pembiayaan diharapkan lebih mudah.
“Saat ini kita menjadi importir terbesar keempat di dunia untuk produk halal. Selandia Baru, Australia, sampai Brazil sudah serius dengan ini. Jadi bagi saya, yang paling penting itu keseluruhan rantai pasok,” ujarnya.
Kendati demikian, ia tak menampik, PP JPH untuk saat ini dibutuhkan semua pihak. Sikap dan respons pemerintah dinantikan oleh para pelaku industri halal hingga kalangan akademisi. PP JPH diharapkan lebih mengatur terkait teknis dan pembagian detail tugas antara kementerian lembaga.
Selain itu, PP JPH harus benar-benar memastikan ketersediaan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan auditor yang memadai daerah dan level lembaga. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BP JPH), kata Banu, tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya lembaga yang mengurusi produk halal. Perlu kerja sama antar lembaga secara baik dan tepat.
“Jadi, segeralah terbitkan PP JPH,” tuturnya.