Sabtu 13 Apr 2019 06:30 WIB

Hasil Diplomasi Sawit, Darmin: Eropa Mulai Melunak  

Uni Eropa menawarkan membentuk forum bersama membahas keberlanjutan status sawit.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolanda
Menko Perekonomian Darmin Nasution didampingi Dubes Indonesia untuk Belgia Yuri Octavian Thamrin, Sekjen Kementerian Industri Utama (MPI) Malaysia Dato’ Tan Yew Chong, dan Duta Besar Kolombia di Brussel Felipe Garcia Echeverri melakukan konferensi pers di Kota Brussels, Belgia, Senin (8/4) malam WIB.
Foto: Republika/Erik Purnama Putra
Menko Perekonomian Darmin Nasution didampingi Dubes Indonesia untuk Belgia Yuri Octavian Thamrin, Sekjen Kementerian Industri Utama (MPI) Malaysia Dato’ Tan Yew Chong, dan Duta Besar Kolombia di Brussel Felipe Garcia Echeverri melakukan konferensi pers di Kota Brussels, Belgia, Senin (8/4) malam WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia bersama Malaysia dan Kolombia telah menyelesaikan kunjungan kerja bersama ke Brussel, Belgia yang digelar pada 8-9 April 2019. Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution menyatakan, setelah melewati perdebatan yang cukup keras, komisi Uni Eropa menawarkan membentuk forum bersama untuk membahas keberlanjutan status sawit pada 2021 mendatang.

Pada dua hari kunjungan diplomasi tersebut, delegasi Indonesia melakukan pertemuan bersama Wakil Presiden Parlemen Uni Eropa, Heidi Hautala dan anggota, Komisi Eropa, Dewan Eropa, dan para pelaku bisnis di bidang biodiesel.  

Baca Juga

Darmin menjelaskan, penawaran Eropa tersebut disambut oleh Indonesia sebagai salah satu produsen sawit terbesar di dunia. Namun, pihaknya tidak dapat menerima begitu saja, jika forum bersama yang ditawarkan tidak memberikan dampak positif bagi Indonesia. Sebab, melihat yang sudah-sudah, penawaran semacam itu tak berujung pada kejelasan.

Menurut dia, forum bersama itu bisa dilakukan secara tertulis antara kedua belah pihak serta dapat dijadikan landasan kebijakan sawit pada tahun 2021. Di mana pada tahun tersebut, sesuai isi dari kebijakan Petunjuk Energi Terbarukan (RED) II, Uni Eropa membuka kesempatan untuk melakukan peninjauan ulang kebijakan. Sekaligus, kriteria dalam menetapkan kategori sawit apakah memiliki risiko tinggi atau rendah terhadap lingkungan.

“Yang bisa berubah pada 2021 bukan regulasinya (RED II), tapi apakah bahan bakar nabati berbasis sawit ini memiliki kategori high risk atau low risk. Ini bukan harapan kita, tapi penawaran dari Eropa,” kata Darmin di dalam Konferensi Pers di Jakarta, Jumat (12/4).

Namun, sebagai catatan, hingga saat ini RED II belum diterapkan. Kebijakan tersebut, jika jadi diterapkan akan dimulai pada bulan Mei mendatang. Karena itu, saat ini pemerintah masih terus berupaya untuk mempertahankan sawit asal Indonesia.

Mengutip isi dari kebijakan RED II, jika bahan bakar berbasis sawit asal Indonesia berisiko tinggi, maka penggunaannya dibatasi maksimum penggunaan pada 2019 dan dipertahankan hingga 2023. Memasuki tahun 2024, penggunaan akan dikurangi secara perlahan hingga menjadi 0 persen pada 2030.

Namun, jika dinyatakan berisiko rendah, maka konsumsi minyak sawit pada 2020 dibatasi maksimum 7 persen dari total konsumsi bahan bakar nabati. Darmin mengatakan, Indonesia akan tetap berupaya agar ekspor sawit ke kawasan Eropa dapat terus dipertahankan. Ia mengaku telah menyatakan dengan tegas dihadapan Komisi Uni Eropa bahwa kebijakan RED II tersebut bersifat diskriminatif.

“Terdapat jarak yang besar antara pemahaman terhadap produk kelapa sawit dan kebijakan pengembangannya. Kita sampaikan ini adalah tindakan diskriminatif, double standard, dan proteksionis,” kata Darmin.

Akibat jarakan pemahaman yang besar itu, kampanye hitam akan kelapa sawit terus dilakukan dan telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Itu sebabnya, baik pemerintah negara-negara Eropa maupun masyarakatnya menganggap sawit sebagai komoditas yang merusak lingkungan.

Padahal, kata Darmin, produktivitas kelapa sawit 10 kali lipat lebih tinggi ketimbang komoditas penghasil minyak nabati yang ada di Eropa saat ini. Sebut saja bunga matahari, rapeseed, hingga kedelai. Darmin mengatakan, akibat disparitas produktivitas yang tinggi itu, maka ketiga komoditas selain sawit tersebut sudah jelas menggunakan lahan yang lebih luas daripada kelapa sawit.

“Kita akan meninjau ulang hubungan ekonomi kita dengan mereka. Tidak perlu dijelaskan lebih detail sekarang,” ujar Darmin.

Deputi Bidang Koordinasi Kerjasama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian, Rizal Affandi menambahkan, hasil pertemuan dengan para pebisnis di sektor minyak nabati, rata-rata berpendapat bahwa hingga saat ini belum ada yang dapat menggantikan minyak sawit.

Menurut Rizal, industri mengaku jika tahun 2024 penggunaan minyak sawit akan dikurangi, pemerintah Eropa perlu berpikir lebih keras. Sebab, lahan hutan di kawasan Eropa hanya sekitar 37 persen dari total lahan. Sementara di Indonesia, kawasan hutan masih sekitar 60-70 persen dari total lahan.

Sementara itu, Staf Khusus Kementerian Luar Negeri, Peter F Gontha menyatakan siap membawa kasus ini ke World Trade Organization (WTO) jika Parlemen Uni Eropa mengesahkan RED II. Ia menyatakan, posisi Indonesia sudah sangat jelas. Di satu sisi, industri kelapa sawit mempekerjakan sekitar 19,5 juta petani, jumlah yang lebih besar dari pada penduduk satu negara di Eropa. 

“Kedaulatan kita merupakan harga mati dan sekarang waktunya kita melakukan kebijakan sesuai dengan pembangunan yang berkelanjutan,” ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement