Senin 08 Apr 2019 17:58 WIB

Industri Wisata Halal Butuh PP JPH

PP JPH akan berdampak langsung pada naik turunnya jumlah kunjungan wisatawan Muslim.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi Sertifikat Halal
Foto: Foto : MgRol100
Ilustrasi Sertifikat Halal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku industri wisata halal Indonesia membutuhkan kepastian dalam proses legalisasi produk halal di Indonesia yang bakal diatur melalui Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Produk Halal atau PP JPH. Perkumpulan Pariwisata Halal Indonesia (PPHI) menyatakan, keberadaan PP JPH akan berdampak langsung pada naik turunnya jumlah kunjungan wisatawan Muslim ke Indonesia.

Ketua PPHI, Riyanto Sofyan, mengatakan, sejauh ini pemerintah baru memiliki Undang-Undang Jaminan Produk Halal Nomor 33 Tahun 2014. Dengan akan diterapkannya PP JPH sebagai pelengkap regulasi, Indonesia diyakni dapat meningkatkan porsi kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) Muslim menjadi 35 persen dari total kunjungan wisman.

Baca Juga

Tahun lalu, dari jumlah keseluruhan kunjungan wisman sebesar 15,8 juta orang, wisatawan Muslim yang menyasar destinasi halal di Indonesia sebanyak 3 juta orang atau menempati porsi sekitar 21 persen. Pada 2019 ini, minimal Indonesia bisa menaikkan jumlah kunjungan wisman muslim menjadi 5 juta dari target total 20 juta kunjungan atau sekitar 25 persen.

“Tahun ini seharusnya UU JPH sudah berlaku secara penuh, maka seharusnya kita bisa dapat porsi yang lebih besar dari target 25 persen tahun ini. Masak kita kalah dengan Jepang yang serius dengan wisata halal,” kata Riyanto di Kementerian Pariwisata, Jakarta, Senin (8/4).

Riyanto mengaku, sebelum PP JPH disahkan oleh presiden, tidak ada masalah yang serius karena proses sertifikasi produk halal bisa dilakukan melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Dewan Syariah Nasional. Hal itu sebagai solusi selama masa transisi sebelum PP JPH disahkan presiden.

Namun, yang menjadi keuntungan tersendiri jika PP JPH diterbitkan ialah kemudahan para pelaku usaha di sektor wisata halal dalam melakukan sertifikasi. Sebab, walau bagaimanapun, sertifikat halal menjadi legalitas utama untuk bisa diakui sebagai wisata menerapkan standar dan prinsip syariat.

“Nanti juga akan ada Lembaga Pemeriksa Halal dan auditor. Jadi diharapkan lebih banyak channel dan segala sesuai bisa teratasi dengan baik,” ujarnya.

Selain itu, Riyanto pun tidak menutup kemungkinan bahwa jangkauan PP JPH juga dapat menyentuh industri perhotelan di area wisata halal. Tentunya, hal itu harus dikomunikasikan secara baik bersama MUI dan DSN.

PPHI memandang, sektor wisata halal yang menjangkau wisatawan muslim tidak lagi dapat dikategorikan sebagai pasar sekunder, tapi pasar utama. Hal itu disebabkan jumlah wisatawan muslim yang berkunjung ke Indonesia, jumlahnya sama dengan wisatawan asal Cina.

Di satu sisi, PPHI mencatat, rata-rata pengeluaran wisatawan muslim di Indonesia mencapai 1.100 dolar AS per orang dalam sekali kunjungan. Khusus wisatawan asal Arab Saudi, pengeluaran bahkan mencapai 2.000 dolar AS per orang per kunjungan. Pengeluaran turis asal Arab Saudi lebih besar karena waktu kunjungan yang lebih lama dan rata-rata merupakan kelas menengah ke atas.

“Jadi bisa dihitung devisa yang bisa didapat Indonesia dengan adanya peningkatan kunjungan wisman Muslim,” ujarnya.

Sementara itu, di kawasan Eropa, terdapat 60 juta penduduk Muslim dengan rata-rata pendapatan per kapita sebesar 70 euro. Besaran itu, kata Riyanto, telah memenuhi syarat untuk bisa berwisata ke luar negeri, seperti Indonesia. Adapun negara-negara di kawasan Eropa yang kerap mendatangkan wisatawan muslim ke Indonesia yakni Jerman, Perancis, dan Inggris. Sedangkan Asia, masih dipegang oleh Malaysia dan Singapura.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement