Jumat 05 Apr 2019 16:11 WIB

Asosiasi Pertanyakan Kontrol Peredaran Bawang Putih

Kontrol peredaran bawang putih impor perlu dilakukan guna meminimalisasi penimbunan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi llahan tanam bawang putih di Temanggung, Jawa Tengah.
Ilustrasi llahan tanam bawang putih di Temanggung, Jawa Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim mempertanyakan kontrol pemerintah terkait importir yang masih memiliki pasokan stok bawang putih. Menurutnya, dari total volume impor bawang putih tahun lalu, cadangan stok importir masih tersedia hingga April ini sehingga menjadi pertanyaan mengapa rekomendasi impor kembali dikeluarkan pemerintah untuk tahun ini.

Diketahui, pemerintah mengeluarkan rekomendasi impor bawang putih dengan kuota volume sebesar 100 ribu ton melalui Badan Usaha Logistik (Bulog) pada 2019 ini. Impor dilakukan dengan alokasi anggaran sebesar Rp 500 miliar kepada Bulog. Pada Juli tahun lalu, berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag), surat persetujuan impor (SPI) dikeluarkan untuk sekitar 200 ribu volume impor bawang putih kepada 13 perusahaan importir.

“Harusnya, Kemendag punya kontrol terhadap peredaran bawang putih yang masuk ke importir,” kata Anton saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (5/4).

Menurutnya, kontrol terhadap peredaran bawang putih impor perlu dilakukan guna meminimalisasi penimbunan barang oleh importir nakal. Dia menjelaskan, kontrol perlu dilakukan mulai dari jumlah kuota impor yang diterima importir, total distribusi ke pasar, hingga yang tersedia di gudang. Data terkait peredaran tersebut, kata dia, harus dipantau oleh Kemendag secara berkelanjutan.

Hal itu selain dapat memastikan pasokan tersedia di pasaran, lanjutnya, juga dapat dijadikan acuan oleh pemerintah apakah rekomendasi impor dapat dikeluarkan kembali jika pasokan benar-benar habis. Dia menilai, dengan dikeluarkannya rekomendasi impor kembali oleh pemerintah tanpa penerapan kontrol kepada importir, akan ada potensi penimbunan barang oleh importir.

“Itu (penimbunan) sangat mungkin terjadi, ini yang jadi persoalan. Ujung-ujungnya, fluktuasi harga kalau pengawasannya tidak dilakukan secara detail,” katanya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2017 disebutkan, rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) harus melalui persyaratan administrasi dan teknis. Dalam Pasal 4 Ayat 1 Permentan tersebut, RIPH harus mempertimbangkan produksi hortikultura dalam negeri. Dalam peraturan tersebut juga termaktub, penerbitan RIPH dilakukan setelah pelaku usaha merealisasikam impor dan menyampaikan laporan realisasi impornya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement