Kamis 04 Apr 2019 22:22 WIB

UMKM tak Boleh Anti dengan Revolusi Industri 4.0

Inovasi teknologi ini juga menjadi keunggulan bersaing.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Muhammad Hafil
Produk kerajinan UMKM.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
Produk kerajinan UMKM. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) jangan antipati atau merasa rendah diri dengan revolusi industri generasi keempat. Sebaliknya, menurut Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Jawa Barat (Jabar), Jodi Janitra, pelaku UMKM harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan yang muncul dari revolusi industri 4.0.

Jodi mengatakan, transformasi digital bagi UMKM sudah merupakan tuntutan pasar yang mau tidak mau harus dilakukan. "Pasar sudah mengarah ke sana. UMKM jangan berpikir, saya kan hanya UMKM, tidak perlu ikut-ikutan. Apa sih revolusi 4.0? Otomatisasi? Duh pusing. Jangan asa pemikiran seperti itu," ujar Jodi pada Konferensi Pers JNE UKM Festival ‘BALAREA’ (Bandung Lautan Kreatif) 2019 di Hotel Moxy, Kamis (4/4).

Baca Juga

Menurut Jodi, UMKM harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi terbaru. Agar, UMKM bisa berdaya saing. Jadikan ini sebagai keunggulan layanan bagi konsumen. Dari sisi pemasaran, adopsi teknologi informasi memberikan jangkauan pasar yang jauh lebih luas. Apalagi, karakter konsumen akan mengejar dimanapun produk berada, selama harganya adalah yang termurah.

Sementara dari sisi operasional, kata dia, adopsi teknologi akan memberikan efektivitas dan efisiensi yang besar. Apalagi, jika kapasitas usaha semakin besar dan memerlukan kecepatan tinggi dalam operasionalnya.

Sementara menurut entrepreneur fesyen, Dhatu Rembulan, Pelaku UMKM, harus bertransformasi ke arah digital. UMKM, jangan merasa ciut dengan kata-kara revolusi industri 4.0 atau otomatisasi. "Kita harus ada di dalamnya, bukan justru menghindarinya," kata Dhatu.

Menurut Dhatu, ke depan arus digitalisasi akan semakin deras. Mereka yang tidak mau menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi justru akan tersingkir dan kalah dari persaingan.

"Memang tidak mudah. Saya sendiri, pada awal melakukan otomatisasi, omzet udaha sempat anjlok. Konsumen, khususnya wanita usia 40 tahun ke atas masih percaya untuk berinteraksi dengan sistem," katanya.

Untuk membiasakan konsumennya, istri dari vokalis The Changcuters tersebut, melakukan usaha yang cukup besar. Salah satunya dengan memberikan edukasi terhadap konsumen.

"Saya juga masih menyediakan customer sevice untuk membantu konsumen yang masih ragu untuk berinteraksi dengan mesin. Seiring dengan berjalannya waktu, konsumen mulai terbiasa," katanya.

Bukan hanya karakter konsumen, kata Dhatu, infrastruktur teknologi informasi (TI) juga menjadi tantangan lainnya. Namun, menurut dia, terlepas dari sejumlah tantangan tersebut, benefitnya juga besar.

"Operasional usaha jadi lebih efisien. Inovasi teknologi ini juga menjadi keunggulan bersaing bagi produk saya untuk bisa menembus pasar yang semakin luas," katanya.

Menurut Deputy Director e – Commerce & Partnership JNE, Mayland Hendar Prasetyo, JNE sendiri terus meningkatkan pelayanan bagi konsumen dengan melakukan otomatisasi operasional. Itu juga tidak terlepas dari kapasitas usahanya yang semakin besar, dengan pengiriman memcapai 20 juta paket per bulan dan pertumbuhan bisnis 20 persen-30 persen per tahun.

Tak sampai di sana, kata dia, JNE juga terus berupaya untuk membantu meningkatkan kemampuan dan kapssitas UMKM, di berbagai sektor. Salah satunya dalam adopsi teknologi informasi (TI).

"Pada era revolusi industri 4.0 ini masyarakat semakin sulit melepaskan diri dari TI. Digitalisasi sudah menjadi keseharian dan ke depan trennya akan semakin meningkat," katanya.

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement