REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai kebijakan impor 100 ribu ton bawang putih tidak akan efektif. Hal ini karena dilakukan jelang masa panen yang bisa mengganggu keberpihakan kepada petani lokal.
"Kalau memang mau ada penugasan harusnya sudah dari beberapa bulan yang lalu. Impor bawang putih ini prosesnya tidak cuma seminggu dua minggu impornya," kata Enny dalam pernyataan akhir pekan ini.
Enny mengatakan penugasan impor bawang putih kepada Bulog ini bisa mengarah kepada komersialisasi dan menyebabkan terjadinya penyalahgunaan wewenang karena hak impor bisa diberikan kepada importir lain.
"Nanti ujung-ujungnya Bulog kasih penugasannya ke importir lain. Sama seperti kasus penugasan daging," katanya.
Selain itu, ia menyoroti kemampuan finansial Bulog dalam melaksanakan penugasan tersebut, karena idealnya rencana untuk penyiagaan pasokan ini dibiayai oleh APBN.
Dalam kesempatan terpisah, pengamat politik Hendri Satrio menilai langkah penugasan impor bawang putih kepada Bulog bisa mencederai janji politik untuk mengedepankan pertanian lokal.
Menurut dia, impor untuk tujuan ekonomi tidak mengalami masalah, namun ketidakmampuan dalam melakukan antisipasi pasokan sejak awal, membuat pemerintah mau tidak mau harus melakukan impor dalam jumlah banyak."Harusnya sebelum impor, itu ada koordinasi antar menteri, Bulog dengan Kementerian Perdagangan dan juga dengan Kementerian Pertanian. Jangan sampai nanti pas impor masuk, petani malah panen," ujarnya.
Sebelumnya, sejumlah pengamat ekonomi maupun pengusaha melihat adanya potensi kerawanan dari rencana impor bawang putih yang akan dilakukan oleh Bulog. Meski demikian, Bulog telah menyatakan siap melaksanakan penugasan impor bawang putih dengan menyiapkan anggaran sekitar Rp 500 miliar.