REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyiapkan bauran kebijakan untuk memastikan likuiditas perbankan berada dalam batas aman. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan Januari 2019 tetap tinggi yakni 23,1 persen.
Rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan) tetap rendah yakni 2,6 persen (gross) atau 1,2 persen (nett). Dari fungsi intermediasi, pertumbuhan kredit pada Januari 2019 tercatat 12,0 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kredit Desember 2018 sebesar 11,8 persen (yoy).
Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Januari 2019 sebesar 6,4 persen, tidak berbeda jauh dibandingkan dengan pertumbuhan Desember 2018 sebesar 6,5 persen. Sementara itu, kinerja korporasi go public membaik tercermin dari peningkatan keuntungan dan kemampuan membayar kewajiban.
"Ke depan, Bank Indonesia memandang ruang ekspansi pertumbuhan kredit tanpa mengganggu stabilitas sistem keuangan tetap terbuka," kata dia.
Hal ini mempertimbangkan siklus kredit yang berada di bawah level optimum di tengah prospek permintaan yang tinggi. Bank Indonesia memprakirakan kredit perbankan tetap tumbuh tinggi mendekati batas atas kisaran 10-12 persen (yoy) dan didukung pertumbuhan DPK yang diprakirakan dalam kisaran 8-10 persen (yoy).
Untuk mengarah pada batas atas target pertumbuhan kredit, likuiditas harus cukup longgar agar bisa disalurkan pada pembiayaan. BI, kata Perry, mengakomodasi dengan menyediakan bauran kebijakan alat-alat likuiditas yang dimiliki oleh bank.
"Kalau diukur alat likuid per DPK itu 20 persen, dengan jumlah itu bank-bank secara keseluruhan punya kecukupan likuiditas untuk menyalurkan kredit, itu lebih dari cukup," kata dia di Gedung BI, Jakarta, Kamis (21/3).
Menurut pemantauan BI, bank BUKU III dan IV tidak memiliki masalah likuiditas. Namun untuk bank BUKU I dan II, mereka masih harus meningkatkan pendanaannya. Perry mengatakan BI ingin memastikan likuiditas cukup sehingga term repo diperbanyak dan diperluas.
"Jadwalnya sampai beberapa bulan ke depan itu bisa dilihat, itu adalah salah satunya yang kita lakukan," kata dia.
Selain itu, untuk memastikan likuiditas sejak Desember BI melakukan injeksi likuiditas. Per Desember 2018 sekitar Rp 120 triliun. Kebijakan menaikan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dari 80-92 persen menjadi 84-94 persen juga untuk mendukung pembiayaan perbankan bagi dunia usaha.
"Dengan kenaikan RIM, jadi funding-nya tidak hanya terbatas DPK tapi termasuk juga penerbitan obligasi maupun sekuritas yang lain, financing tidak terbatas pada kredit, tapi juga pembelian obligasi korporasi yang ratingnya baik," katanya.
Kebijakan ini menaikan RIM ini juga memberikan perbankan mendorong perbankan untuk pembiayaan bagi dunia usaha. Dengan batas atas naik ke 94 persen, bank-bank yang sudah mendekati 92 persen dan memiliki funding, umumnya bank-bank buku empat memiliki akses likuiditas, mereka punya ruang untuk menyalurkan kredit lagi sehingga dinaikan batas atasnya.
Batas bawah ini telah dinaikkan menjadi 84 persen. Jika 80 persen, bank-bank ini rasio financing to funding rendah sehingga perlu untuk menyalurkan kredit. Deputi Gubernur BI, Erwin Rijanto menyampaikan RIM merupakan perluasan dari LDR.
Karena di sisi penyebutnya ditambahkan surat-surat berharga yang memenuhi persyaratan, di bawahnya sebagai penyebutnya dimasukan juga surat berharga yang diterbitkan bank. Dengan menaikkan RIM, artinya BI mendorong bank-bank yang intermediasinya sangat rendah.
"Kalau kita lihat dari data kami, dari total 113 bank, ada 21 bank dengan RIM di bawah 80 persen, RIM 80-92 persen ada 37 bank," katanya.
Bank dengan RIM tersebut didorong untuk menyalurkan kreditnya. Untuk bank dengan RIM 92-94 persen, BI memberikan keleluasaan jika ingin tumbuh. Jika bank dengan RIM di bawah 80 persen bisa naik jadi 80-84 persen, maka bisa meningkatkan pertumbuhan kredit sekitar Rp 36,2 triliun.
"Sehingga nanti kita harap pertumbuhan kredit 2019 itu benar bisa mendekati batas atas dari 12 persen, bahkan bisa lebih," kata dia.