Senin 18 Mar 2019 18:24 WIB

Indonesia Sebut Uni Eropa Bersikap Diskriminatif Soal Sawit

Komisi Eropa memasukkan CPO dalam kategori produk berisiko tinggi

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Petani di kebun kelapa sawit.  (Ilustrasi)
Foto: Darmawan/Republika
Petani di kebun kelapa sawit. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia menyampaikan keberatan atas keputusan Komisi Eropa untuk mengadopsi draft Delegated Regulation yang mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai komoditas tidak berkelanjutan dengan risiko tinggi. Menurut pemerintah, klasifikasi tersebut merupakan langkah diskriminatif Uni Eropa (UE) terhadap komoditas sawit nasional.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pernyataan sikap ini merupakan tindak lanjut kesepakatan dari 6th Ministerial Meeting Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) pada akhir Februari. Saat itu, tiga negara produsen minyak terbesar dunia (Indonesia, Malaysia dan Kolombia) menyepakati akan memberikan tanggapan terhadap langkah-langkah diskriminatif UE.

Baca Juga

Menurut Darmin, klasifikasi Komisi Eropa terhadap minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) ditentukan berdasar sistematika dengan bahan 'ilmiah main-main'. Artinya, bahan tersebut sudah dirancang sejak awal untuk mendiskreditkan CPO.

"Dalam hal ini, mereka menyebutkan, CPO beresiko tinggi," katanya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (18/3).

Klasifikasi CPO sebagai risiko tinggi itu masuk dalam rancangan peraturan Komisi Eropa. Yakni, Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/2001 of the EU Renewable Energy Directive (RED II).

Dengan dimasukkannya CPO dalam kategori risiko tinggi, Darmin menilai, akan merugikan bagi industri kelapa sawit dalam negeri. Tidak hanya untuk pengusaha, juga jutaan petani yang menggantungkan hidup ke perkebunan kelapa sawit.

Darmin mengatakan, klasifikasi CPO merupakan kompromi politis di internal UE yang bertujuan mengisolasikan dan mengecualikan minyak kelapa sawit dari sektor biofuel. “Di sisi lain, akan menguntungkan minyak nabati lainnya, termasuk rapeseed yang diproduksi UE,” tuturnya.

Darmin menuturkan, pembahasan UE ini masih fokus pada penggunaan CPO untuk biodiesel. Tapi, di sana, pemanfaatan untuk bahan bakar memberikan kontribusi hingga 64 persen. Sisanya, CPO digunakan untuk makanan dan minuman.

Ketakutan UE terhadap keberadaan CPO yang dapat bersaing dengan rapeseed mereka, diakui Darmin, sebagai hal logis. Sebab, tingkat produktivitas kelapa sawit dapat delapan hingga 10 kali lebih banyak dibanding dengan rapeseed.

"Kami tidak kaget kalau mereka khawatir, komoditas mereka tidak dapat bersaing dengan CPO," ujarnya.

Pemerintah Indonesia akan mengirimkan delegasi ke Eropa untuk bertemu dengan Parlemen pada bulan depan. Menurut Darmin, pemerintah siap memberikan pembelaan komoditas sawit nasional.

Selain itu, pemerintah siap membawa tudingan diskriminatif ini ke World Trade Organization (WTO) apabila regulasi ini benar diberlakukan UE.

Sementara itu, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Iman Pambagyo menuturkan, pemerintah akan mengkaji dampak dari sikap UE ini terhadap keberlanjutan Indonesian-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (EU CEPA).

Menurut Iman, keputusan pemerintah terhadap keberlanjutan EU CEPA membutuhkan kajian dari berbagai aspek, terutama permasalahan sosial. "Berbicara EU CEPA, kita berbicara 17,2 miliar dolar AS. Tapi, kalau bicara kelapa sawit, kita berbicara 17 juta tenaga kerja," tuturnya.

Iman mengatakan, pemerintah sudah sempat bertemu dengan UE dan membahas akses pasar kelapa sawit ke pasar UE dalam Working Group on Trade and Investment (WGTI) ke-9 di Brussel, Belgia, bulan lalu. Tapi, diskusi tersebut masih jauh dari kesepakatan karena EU cenderung offensive.

Wakil Ketua III Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sanggani mengatakan, pengusaha akan mendukung kebijakan yang diambil pemerintah. Baik itu terhadap EU ataupun negara lain yang berpotensi mengganggu keberlangsungan industri sawit di Indonesia.

Togar menjelaskan, industri ini strategis karena peranannya dalam penerimaan devisa negara dan penyediaan lapangan kerja. Ia berharap, rancangan peraturan ini tidak jadi diadopsi atau diresmikan. "Tapi, kami tidak mau berandai-andai,"` tuturnya.

Menurut data Gapki, volume ekspor CPO dan turunannya sepanjang 2018 mencapai 32,02 juta ton. Total itu berasal dari tiga negara utama, yakni India 6,71 juta ton, Uni Eropa 4,78 juta ton dan Cina 4,41 juta ton. Ekspor ke AS hanya 1,21 juta ton dan kumpulan negara nontradisional lain adalah 6,44 juta ton.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement