Ahad 10 Mar 2019 03:00 WIB

Antara Biaya dan Intergarasi LRT Jabodebek

Total biaya pembangunan LRT Jabodebek fase satu sebesar Rp 467 miliar per kilometer.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Friska Yolanda
Perbandingan biaya pembangunan LRT dunia.
Foto: Republika
Perbandingan biaya pembangunan LRT dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah  terus gencar melakukan pembangunan infrastruktur, khususnya di bidang transportasi. Salah satu yang terbesar yaitu pembangunan Lintas Rel Terpadu (LRT) Jabodebek yang menghubungkan Cawang-Cibubur, Cawang-Kuningan-Dukuh Atas, dan Cawang-Bekasi Timur. 

PT Adhi Karya (Persero) mendapatkan tugas untuk membangun LRT Jabodebek dan pengerjaan mulai dilakukan sejak 2015 sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2015. Per 8 Februari 2019, saat ini total pengerjaan semua lintas LRT Jabodebek sudah mencapai 58,3 persen. 

Anehnya, setelah mencapai setengah proses pembangunan, LRT Jabodebek justru harus menghadapi kritik terkait biaya yang mahal dan pemilihan sistem layang atau elevated. Kritik tersebut, justru muncul dari Wakil Presiden Jusuf Kalla pada awal 2019 yang menganggap pembangunan LRT Jabodebek tidak efisien. 

Direktur Operasional II Adhi Karya Pundjung Setya Brata memastikan semua desain yang  untuk LRT Jabodebek dibuat sesuai dengan kebutuhan. "LRT Jabodebek, nantinya itu minimal harus mampu mengangkut penumpang 500 ribu perhari. Untuk mencapai itu, kita hitung sistemnya seperti apa," kata Pundjung dalam cara Media Workshop Adhi Karya di Grandhika Hotel, Jakarta Selatan, Jumat (15/2). 

Untuk mencapai 500 ribu penumpang per harinya, kata dia, desain LRT harus memenuhi waktu tertentu dalam setiap lintas perjalanannya. Waktu perjalanan dari Bekasi Timur ke Dukuh Atas harus 40 menit, dari Cibubur ke Dukuh Atas hanya 39 menit, dan dari Cawang ke Bekasi Timur harus 45 menit. 

Menurut Pundjung, kriteria tersebut yang menentukan bagaiamana desain LRT dibuat sehingga biaya yang dikeluarkan juga harus sesuai dengan integrasinya. "Kami mendesain berdasarkan kebutuhan itu. Mulai dari rangkaiannya seperti apa, layang atau tidak, minumum enam kereta dalam satu rangkaian, dan sebagainya," jelas Pundjung. 

Untuk itu, Pundjung menegaskan desain yang dibuat LRT Jabodebek disesuaikan dengan kebutuhan 500 ribu penumpang per harinya. Dengan begitu jarak antar kereta juga harus pendek dengan waktu tunggu hanya tiga menit saja. 

Jika semua kriteria tersebut harus tercapai, maka LRT Jabodebek harus dibangun dengan sistem layang. Pundjung mencontohkan seperti kebutuhan di lintas LRT Jabodebek Cawang-Kuningan-Dukuh Atas. 

"Kami ingin ada integrasi di Kuningan sehingga dibuat layang agar di bawahnya masih ada Transjakarta yang juga terintegrasi dengan stasiun LRT Jabodebek," ungkap Pundjung. 

Pundjung mengakui memang ada pilihan lain yaitu pembangunan dengan cara di bawah tanah seperti Moda Raya Terpadau (MRT). Hanya saja, jika LRT Jabodebek dibuat dengan sistem tersebut maka akan lebih banyak menelan biaya lagi. 

Untuk itu Pundjung menegaskan pembangunan LRT Jabodebek dengan sistem layang seperti saat ini terbilang lebih murah. Terutama, kata dia, jika dibandingkan dengan proyek kereta lain seperti LRT Jakarta (Kelapa Gading-Velodrome) dan MRT. Bahkan juga jauh lebih murah dibandingkan LRT milik negara tetangga. 

Pundjung mengatakan melihat perkembangan transportasi di negara tetangga yang lebih dahulu, hal tersebut dapat menjadi landasan perbandingan. "Bahwa sebebarnya pembangunan di Indonesia khususnya LRT Jabodebek cukup kompetitif," tutur Pundjung. 

Total biaya pembangunan LRT Jabodebek fase satu sebesar Rp 20,752 triliun atau Rp 467,08 miliar per kilometer.  Jika dihitung dengan pembiayaan kereta oleh PT Kereta Api Indonedia (KAI) (Persero), total biaya LRT Jabodebek mencapai Rp 673 miliar perkilo meter. Sementara total seluruh lintas LRT Jabodebek fase satu sepanjang 44,5 kilometer. 

"Hal tersebut cukup kompetitif jika dibandingkan di Kanada, pembangunan LRT Calgary, dengan tipe di permukaan tanah atau at grade sepanjang 20 kilometer total biaya mencapai Rp 43,940 triliun," ungkap Pundjung. 

Selain itu, melihat pembangunan di Uni Emirat Arab, total biaya pembangunan LRT Dubai sepanjang 76 kilometer dengan tipe di permukaan tanah sebesar Rp 78 ribu triliun. Sedangkan di Filipina, total biaya pembangunan LRT Manila Line 7 sepanjang 23 kilometer dengan tipe layang sebesar Rp 20,790 triliun.

Perbandingan dengan negara tetangga menurut Pundjung menjadi alasan biaya LRT Jabodebek masih jauh lebih kompetitif. Terlebih, kata dia, LRT Jabodebek dibangun dengan teknologi terkini, dengan mendukung sistem operasi yang mampu mencapai otomasi level tiga  atau GOA Level 3. 

"Sehingga teknologi ini  memungkinkan LRT Jabodebek bergerak otomatis tanpa masinis atau driverless," tutur Pundjung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement