Ahad 03 Mar 2019 20:20 WIB

Gojek Disarankan Keluar dari Zona Perang Tarif

Gojek sudah punya desain dan ekosistem bisnis yang lebih matang.

Sejumlah pengemudi ojek online melintas di kawasan Paledang, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (15/1/2019).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Sejumlah pengemudi ojek online melintas di kawasan Paledang, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (15/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat menyarankan GoJek agar keluar dari zona perang tarif yang gencar dilakukan Grab dan tak terpancing untuk terlibat semakin dalam. Hal itu akan mengancam kelangsungan usaha serta menghambat inovasi dalam investasi teknologi.

"(Perang tarif berkepanjangan) sangat tidak sehat. Menggangu inovasi karena profit turun akibat banyak bakar uang di promo tarif dan dampaknya akan merugikan mitra pengemudi juga," kata pengamat industri digital dari Universitas Indonesia, Harryadin Mahardika, di Jakarta, Ahad (3/3).

Baca Juga

Menurutnya, Gojek sudah punya desain dan ekosistem bisnis yang lebih matang, sehingga memiliki konsumen dan mitra pengemudi yang loyal. Keunggulan ini merupakan modal yang jauh lebih berharga ketimbang ikut berusaha menguasai pasar lewat strategi perang tarif.

Selain unggul dalam inovasi pengembangan layanan, faktor lain yang membuat Gojek lebih menarik, menurut Harryadin, adalah fleksibilitas manajemen dalam menerima aspirasi mitra pengemudi. Kemampuan menjaga hubungan dengan mitra pengemudi telah menjadi pembeda sehingga menciptakan rasa nyaman.

"Lihat saja, Gojek relatif lebih minim mendapat komplain," ujarnya.

Sebaliknya, belakangan Grab malah cenderung dianggap menjalankan bisnis seperti tanpa kompromi oleh mitra pengemudinya. Hubungan yang terjalin dinilai tidak berjalan seperti kemitraan, bahkan malah terkesan terlalu kaku dalam operasionalnya. Akibatnya, lanjut dia, tak sedikit mitra pengemudi Grab yang bekerja setengah hati, sehingga berdampak terhadap kenyamanan dan keselamatan konsumen.

Oleh karena itu, Harryadin menyarankan Gojek untuk lebih fokus mengandalkan inovasi dan peningkatan layanan dibanding membakar uang  lewat perang tarif. Strategi ini diyakini lebih ampuh membentuk kesetiaan konsumen dan mitra pengemudi.

"Jadi tak perlu lagi terlibat perang tarif. Lagipula Grab juga tak akan mampu sendirian menguasai pasar Indonesia yang besarnya empat kali pasar Thailand ini," kata dia.

Game Theory

Dia menilai, aksi Grab memicu perang tarif dengan cara agresif melempar promo sangat murah adalah usaha mengalahkan Gojek sebagai satu-satunya kompetitor setelah Uber tumbang. Statusnya sebagai perusahaan asing telah membuat Grab khawatir bakal terancam kalah saing di pasar Indonesia.

Namun, kata dia, percuma saja membakar uang untuk merebut hati konsumen, jika minim inovasi serta tanpa usaha meningkatkan layanan dan keamanan. Belum lagi dampaknya yang merugikan mitra pengemudi, karena harus berjibaku bak kerja rodi demi memenuhi hasrat perang tarif tersebut.

"Kalau kenyamanan mitra pengemudi terabaikan, jaminan keamanan dan keselamatan pengguna pasti bakal ikut terdampak," katanya.

Harryadin memperkirakan Grab tak akan mampu bertahan lama dengan strategi perang tarifnya, jika GoJek mau mengikuti saran keluar dari permainan tersebut. Perang tarif saat ini bisa diibaratkan dengan Game Theory yang tak pernah benar-benar sempurna dan menghasilkan keuntungan.

"Ketika pihak yang ditantang perang tarif mampu mempertahankan keputusan untuk tidak ikut, justru yang akan dirugikan adalah si pemulai perang tarif," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement