REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengembangan sektor riil halal dinilai sangat signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi syariah. Sekretaris Jenderal Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Edy Setiadi mengatakan, untuk mengembangkan keuangan syariah, kue ekonominya, atau dalam hal ini sektor yang dapat dibiayai oleh sektor keuangan syariah, harus tumbuh dan berkembang terlebih dahulu.
"Permasalahan yang ada di sektor keuangan itu istilahnya mereka kehabisan jangkauan, mungkin karena sudah digarap dengan konvensional, atau tidak unik. Memang alangkah baiknya didorong di sektor riilnya," ujar Edy Setiadi kepada Republika.co.id, Jumat (22/2).
Oleh karena itu ia menilai, upaya Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) saat ini untuk lebih fokus pada peta jalan industri halal merupakan langkah yang tepat. "Makanya di roadmap Bappenas, banyak arsitektur pengembangan sektor riil, mengembangkan kue untuk keuangan syariahnya dulu," kata Edy.
Dalam mengembangkan industri halal, sektor yang paling dapat memacu pertumbuhan yakni sektor wisata halal yang memiliki efek berantai (multiplier effect). Pengembangan sektor wisata halal akan berdampak pada ke sektor perhotelan, transportasi, kuliner halal dan fashion Muslim.
Pemerintah pun telah menetapkan 10 destinasi wisata halal di Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Lombok. Destinasi wisata halal ini menjadi hulu dari industri halal, sedangkan hilir merupakan industri-industri yang akan mengisi atau melengkapi.
Menurut Edy, tidak hanya destinasi wisata yang ditetapkan pemerintah, MES di daerah juga mengembangkan desa-desa wisata syariah sebagai pilot project wisata halal. Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan ekonomi di wilayah tersebut. Ia berharap nantinya akan ada wilayah yang ditetapkan sebagai Hub Keuangan Syariah.
"Kalau mau tetapkan Hub Keuangan Syariah di sana tentunya harus ada sektor riilnya," kata Edy.
Ketua Indonesia Halal Lifestyle Center, Sapta Nirwandar mengatakan, pemerintah harus menjelaskan kepada pelaku industri bahwa menyematkan label halal pada produk mereka dapat memberi keuntungan besar.
Menurutnya, meskipun saat ini gerai-gerai ritel makanan harus dijamin kehalalannya dengan label halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), namun banyak yang menganggap statis tersebut hanya dianggap sebagai syarat pelengkap untuk mendistribusikan produk mereka.
"Bagi UMKM mungkin biaya sertifikasi agak mahal. Padahal bisa dilakukan pemerintah dengan memberi subsidi. Tapi campaign- nya juga harus dijelaskan kalau akan menambah penjualan," kata Sapta.
Sementara itu, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) tengah bekerjasama dengan berbagai perguruan tinggi untuk mensosialisasikan pentingnya sertifikasi halal kepada jutaan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Ketua BPJH Sukoso mengatakan, menjelang beroperasinya BPJH pada Oktober 2019, perusahaan-perusahaan besar telah menyatakan kesiapan mereka untuk melakukan sertifikasi. Sedangkan UMKM masih harus diberikan banyak sosialisasi dan penjelasan mengenai pentingnya sertifikasi halal.
"Yang kita benahi pada UMKM yang belum sadar halal. UMKM itu harus disadarkan halal, karena kita sudah masuk MEA, kalau tidak kita bisa kalah dari kompetitor," kata Sukoso.
BPJH menargetkan dalam waktu lima tahun, seluruh industri makanan dan minuman sudah mendapatkan sertifikasi halal, sedangkan industri kosmetik dan obat- obatan ditargetkan dalam waktu tujuh tahun. "Ini PR besar, jadi harus bertahap," kata Sukoso.