REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Gelaran debat putaran kedua memperhadapkan antara calon presiden (capres) pejawat, Joko Widodo, dan penantangnya, yakni Prabowo Subianto pada malam hari ini, Ahad (17/2). Menurut pengamat lingkungan hidup Hariadi Kartodihardjo, jalannya debat tersebut kurang memuaskan karena tidak memunculkan substansi, terutama persoalan ekologi.
“Jadi (debat) ini lebih ke retorika politik. Saya enggak tangkap substansi inovasi yang muncul. Akar masalah yang jadi poin-poin penting untuk tingkatkan lingkungan ke depan justru enggak muncul,” kata Hariadi Kartodihardjo menegaskan saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (17/2).
Misalnya ketika capres Prabowo berjanji akan memisahkan antara Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Seperti diketahui, pada era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) keduanya disatukan menjadi KLHK. Bagi mantan danjen Kopassus itu, pemisahan tersebut bertujuan supaya penangangan masalah lingkungan bisa lebih terfokus.
Menanggapi itu, Hariadi menjelaskan, langkah pemisahan tersebut mungkin saja berdampak positif untuk menghindari konflik kepentingan, tetapi belum cukup komprehensif menyentuh akar persoalan.
“Hanya saja, itu baru terkait konflik kepentingan. Belum meliputi aspek lain, padahal soal kehutanan dan lingkungan hidup harusnya di ranah tata ruang. Tapi tadi tidak ada yang membahas ke sana,” ujar guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.
Dia menambahkan, perlu adanya konsep pendekatan ekosistem, sehingga menunjukkan besarnya hubungan kehidupan manusia dengan kehidupan tanaman, hewan, tanah, air, dan nutrisi.
"Jadi intinya perlu dikaitkan dengan krisis ekosistem karena hal-hal yang dibicarakan tidak dapat dipisah-pisah saja membahasnya," tegas dia.
Adapun pemaparan Jokowi juga ditanggapinya. Hariadi menilai, dalam debat tersebut, presiden RI ketujuh itu lebih membahas prestasi selama era pemerintahannya. Hal itu tentunya berbeda daripada Prabowo, yakni lebih ke arah apa-apa yang semestinya dilakukan.
Sebelum debat tadi digelar, Hariadi berharap kedua belah pihak akan menawarkan solusi untuk mengatasi problematika dalam penegakkan hukum. Sayangnya, lanjut dia, harapan itu tidak muncul. Bahkan, Jokowi hanya memberikan contoh Sungai Citarum yang menurut pasangan cawapres KH Ma’ruf Amin itu “Citarum yang dulu tercemar sekarang harum.”
Masalah pencemaran lingkungan sesungguhnya tidak hanya terkait masalah hukum. Selain mendenda para pelakunya, aspek-aspek pemulihan lingkungan yang telah dicemari juga harus dipikirkan.
“Misalnya memastikan masyarakat tidak minum air tercemar dan lainnya. Itu penting, enggak bisa hanya aspek hukumnya," sebut dia.
Baca juga: Klaim Menang Debat, TKN Optimistis Elektabilitas Jokowi Naik
Selain itu, Hariadi mengingat, Jokowi tadi menyebutkan tentang 11 perusahaan yang telah melakukan pelanggaran terkait pencemaran lingkungan. Seluruh perusahaan itu disebutnya sudah dikenakan denda sekitar Rp 18,4 triliun. Namun, Jokowi tampak tidak komprehensif menyajikan isu.
"Ya tindakan itu memang benar berjalan. Hanya saja, pertanyaan seharusnya, apakah Rp 18,4 triliun tersebut bisa ditarik pemerintah? Itu kan baru putusan hukum tapi eksekusi tarik dananya ini belum semuanya," ujar akademisi tersebut.
Maka dari itu, Hariadi menyimpulkan debat tadi kurang memuaskan.
“Jadi saya lihat enggak ketemu. Belum ada ide saling menguatkan terkait lingkungan yang bisa diimplementasikan. Pasalnya, yang satu bahas kinerja, yang satu (lainnya) utopis," tutur Hariadi.
"Keduanya saling menghargai pendapat masing-masing, tapi saya juga tidak melihat bagaimana sesungguhnya pernyataan Pak Jokowi tidak berhubungan dengan Pak Prabowo," kata dia.