REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Ekspor Jepang pada Desember mengalami penurunan paling besar dalam kurun waktu lebih dari dua tahun. Hal ini karena terseret anjloknya pengiriman ke Cina dan pasar regional.
Lemahnya permintaan global dan friksi perdagangan AS-Cina berdampak pada ekonomi yang bergantung pada perdagangan ini. Ekspor Jepang pada Desember berdasarkan data Kementerian Keuangan tercatat turun 3,8 persen dari tahun sebelumnya. Angka ini turun 1,9 persen lebih besar dari yang diperkirakan oleh para ekonom dan menjadi yang paling tajam sejak Oktober 2016.
Data perdagangan menggarisbawahi meningkatnya tekanan eksternal pada ekonomi terbesar ketiga di dunia itu. Dengan inflasi yang sangat lemah dan momentum ekonomi global yang mendingin, bank sentral secara luas diperkirakan akan mempertahankan stimulus moneternya yang besar.
Ekspor kemungkinan akan menekan ekonomi Jepang selama kuartal mendatang. Jepang sudah merasakan tekanan dari perlambatan di Cina, pasar utama bagi produsen utama yang mengirimkan peralatan dan pasokan yang digunakan oleh produsen Cina semikonduktor, ponsel dan barang-barang lainnya.
"Perdagangan bersih tetap menjadi hambatan pada pertumbuhan PDB pada kuartal keempat," kata ekonom senior Jepang di Capital Economics Marcel Thieliant.
Tekanan ini tampaknya akan meningkat lantaran ekonomi Cina yang berjuang untuk melepaskan dampak dari perang dagang dengan AS. Pertumbuhan Cina pada 2018 berada di level terendah dalam 28 tahun. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan memangkas perkiraan pertumbuhan globalnya.
Presiden AS Donald Trump telah mengkritik dua negara ini atas perdagangan. Ia mengancam akan mengenakan tarif tinggi pada impor mobil Jepang. Padahal, mobil tersebut merupakan dua pertiga dari surplus perdagangan tahunan Jepang senilai 69 miliar dolar AS dengan AS.
Sementara impor keseluruhan Jepang pada Desember naik 1,9 persen dari tahun sebelumnya. Neraca perdagangan negara pun defisit 55,3 miliar yen. Hal ini menyebabkan defisit perdagangan setahun penuh pertama Jepang sejak 2015. Saat itu, Negeri Sakura ini terguncang oleh lonjakan impor bahan bakar untuk menembus hilangnya tenaga nuklir akibat bencana Fukushima 2011.