REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Operasional II Adhi Karya Pundjung Setya menegaskan proyek lintas rel terpadu (LRT) memiliki biaya pembangunan yang lebih kompetitif. Terutama jika dibandingkan moda raya terpadu (MRT) atau moda transportasi sejenis di Singapura.
Pundjung mengatakan dalam menerima informasi biaya harus memahami terlebih dahulu lingkup pekerjan dan teknologi yang digunakan. "MRT lebih mahal karena sebagian lintasan bawah tanah. Tidak apple to apple dibandingkan," kata Pundjung, Senin (14/1).
Selain itu, perbedaan yang perlu diperhatikan yaitu jumlah yang akan dioperasikan dalam proyek tersebut. Menurut Pundjung, LRT Jabodebek memiliki 31 rangkaian kereta dari masing masing terdiri enam gerbong yang pada akhirnya juga berpengaruh pada luasan depo.
Baca juga, LRT Jabodebek Lebih Murah Dibanding LRT Jakarta
Pundjung menjelaskan fasilitas depo LRT Jabodebek seluas 12 hektare termasuk untuk perbaikan, perawatan, dan kontrol. "Jadi biaya sudah mengandung untuk depo, biayanya tidak murah itu. Biaya itu termasuk depo dan stasiun," jelas Pundjung.
Biaya proyek LRT menurutnya juga termasuk teknologi dan sistem sinyal. Dengan begitu menurut Pundjung banyak sekali yang harus diperhitungkan untuk melihat nelanja modal suatu prasarana perkeretaapian.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan inefisiensi LRT Jabodebek dapat dilihat dari keputusan pembangunan rel secara melayang. Padahal, menurut Kalla, harga tanah di wilayah perbatasan Jakarta tidak terlalu mahal, sehingga bisa dilakukan pembangunan rel reguler yang lebih murah.
"Kalau luar kota lahan masih murah kok, masak, penduduk tidak ada, kenapa mesti (dibangun) elevated di luar kota, kecuali kalau wilayahnya sudah betul-betul sangat padat, itu berbeda," ujar Jusuf Kalla ketika membuka rapat koordinasi Pimpinan Nasional Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) di Istana Wakil Presiden, Jumat (11/1).