Senin 14 Jan 2019 16:13 WIB

LRT Jabodebek Lebih Murah Dibanding LRT Jakarta

Biaya angkutan massal berbasis rel juga bergantung pada sistem rel yang dipakai.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Friska Yolanda
Suasana pembangunan proyek Kereta Light Rail Transit (LRT) di Jakarta, Jumat (4/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Suasana pembangunan proyek Kereta Light Rail Transit (LRT) di Jakarta, Jumat (4/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum lama ini Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai pembangunan lintas rel terpadu (LRT) Jabodebek tidak efisien. Menanggapi hal tersebut, Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas justru mengatakan proyek LRT Jabodebek jauh lebih murah dibandingkan LRT Jakarta (Velodrome-Kelapa Gading). 

Soal harga yang dinilai mahal, menurut Darmaningtyas cara melihat biaya yang dikeluarkan untuk membangun LRT bukan hanya melihat biaya yang dipakai untuk konstruksi jalurnya. "Tapi secara keseluruhan konstruksi," kata Darmaningtyas, Senin (14/1). 

Dia menjelaskan keseluruhan konstruksi tersebut yaitu pekerjaan struktur jalur, trackworks, sistem rel, pembangunan stasiun, dan pekerjaan depo seluas 10 hektare. Dari semua pengerjaan konstruksi tersebut, harga pengerjaan LRT Jabodebek tersebut mencapai Rp 467 miliar per kilometer.

Harga tersebut, kata Darmaningtyas, masih lebih murah bila dibandingkan dengan LRT Jakarta dan infrastruktur sejenis di luar negeri. "Termasuk line 3 Kuala Lumpur yang beberapa kali melakukan studi banding dan meminta bantuan teknisi ke Adhi Karya," jelas Darmaningtyas.

Baca juga, JK Nilai Pembangunan LRT di Luar Kota Tidak Perlu Elevated

Menurut Darmaningtyas, biaya pembangunan LRT atau moda raya terpadu (MRT) yang paling murah jika dibangun dengan tipe at grade atau sejajar dengan tanah. Lalu termurah kedua, kata Darmaningtyas jika dibangung dengan tipe layang dan termahal saat dibangun dengan tipe di bawah tanah. 

Hal lain yang mempengaruhi biaya yaitu besaran efisien gempa yang sangat tergantung lokasinya. "Misalnya Indonesia lebih tinggi dibanding Singapore, Jakarta lebih tinggi dibanding dengan Palembang yang sangat berpengaruh pada perhitungan civil structure-nya," jelas Darmaningtyas. 

Selain itu, biaya pembangunan angkutan massal berbasis rel juga bergantung pada sistem rel yang dipakai. Dia menjelaskan diantaranya sistem otomasi dan signal hingha sistem otomasi dibagi menjadi beberapa tingkatan. 

Menurut Darmaningtyas, sistem sinyal juga mempengaruhi biayanya. Hal itu baik memakai sistem gixed block seperti KRL, LRT Palembang, dan Jakpro atau moving block seperti MRT dan LRT Jabodebek. 

"Sistem ini sangat berpengaruh pada head way yang ingin dicapai yang mempengaruhi kapasitas angkut, bila menggunakan moving block itu headway-nya dua sampai tiga menit bisa dicapai," jelas Darmaningtyas.

Jadi, kata dia, jika membandingkan harga maka harus dipastikan perbandingannya dilakukan secara seimbang. "Dengan menggunakan elevated structure serta memperhatikan jumlah bentang panjang harga 40-50 juta dolar AS perkilometer merupakan harga yang kompetitif untuk di Indonesia," ungkap Darmaningtyas. 

Sebelumnya, Kalla mengatkan inefisiensi LRT Jabodebek dapat dilihat dari keputusan pembangunan rel secara melayang. Padahal, menurut Kalla, harga tanah di wilayah perbatasan Jakarta tidak terlalu mahal, sehingga bisa dilakukan pembangunan rel reguler yang lebih murah.

"Kalau luar kota lahan masih murah kok, masak, penduduk tidak ada, kenapa mesti (dibangun) elevated di luar kota, kecuali kalau wilayahnya sudah betul-betul sangat padat, itu berbeda," ujar Jusuf Kalla ketika membuka rapat koordinasi Pimpinan Nasional Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) di Istana Wakil Presiden, Jumat (11/1).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement