REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Dr Oni Sahroni, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI
Assalamualaikum wr wb.
Ustaz, misal ada perjanjian kerja sama antara rumah sakit dan suatu lembaga bahwa apabila terlambat membayar klaim kepada rumah sakit, lembaga tersebut akan membayar denda sebesar satu persen dari pengajuan klaim rumah sakit. Pertanyaannya, bolehkah rumah sakit memperlakukan denda tersebut sebagai pendapatan untuk menutup kerugian akibat keterlambatan pembayaran ataukah tetap sebagai denda (donasi sosial)?
Muhammad (pengelola rumah sakit)
Waalaikumussalam wr wb.
Rumah sakit dapat memanfaatkan dana yang bersumber dari denda sebesar kerugian riil yang diakibatkan keterlambatan pembayaran lembaga mitra tersebut dalam membayar klaim kepada rumah sakit. Jika ada sisa, jumlah itu diperlakukan sebagai donasi sosial yang diperuntukkan mustahik layaknya infak dan sedekah.
Kesimpulan ini berdasarkan telaah terhadap substansi masalah, wawancara beberapa pihak-pihak terkait, fatwa DSN MUI, keputusan lembaga fikih OKI, dan kaidah-kaidah fikih muamalah dalam literatur turats dan kontemporer.
Pertama, di antara yang perlu dipertegas, apakah yang dimaksud dengan denda dalam kesepakatan kerja sama tersebut adalah denda sebagai donasi sosial menurut terminologi fikih atau sebagai pendapatan menurut terminologi konvensional?
Dalam fikih muamalah, ada dua hal yang terkait dengan pihak (debitur dalam transaksi utang piutang atau pembeli dalam transaksi jual beli tidak tunai) yang terlambat menunaikan kewajibannya, yaitu denda keterlambatan (ta'zir) dan ganti rugi (ta'widh).
Misalnya, A membeli barang secara angsur kepada si B. Maka, keduanya boleh membuat kesepakatan. Apabila terlambat membayar angsurannya, A membayar sejumlah uang sebagai denda/sanksi atas setiap hari keterlambatannya dan menjadi donasi sosial dan membayar sejumlah kerugian riil yang dialami oleh penjual akibat keterlambatan tersebut.
Kedua, denda/sanksi berupa uang itu sebagaimana dalam contoh itu diperkenankan dengan ketentuan berikut. (a) Bertujuan agar mitra disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. (b) Dikenakan bagi pihak yang mampu membayar, tetapi sengaja menunda-nunda pembayaran. (c) Denda diperuntukkan sebagai dana sosial. Sebagaimana standar syariah internasional AAOIFI dan Fatwa Nomor 17 /DSN-MUI/IX/2000.
Selain itu, hal tersebut sebagaimana hadis Rasulullah Saw, "Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu merupakan suatu kezaliman." (HR. Jama’ah).
Bahwa apabila debitur sengaja menunda-nunda pembayaran padahal mampu maka merugikan kreditor. Hal ini yang harus dihindari, salah satunya dengan pengenaan denda. Denda ini tidak termasuk riba karena riba adalah manfaat yang diterima oleh kreditor atas jasa pinjaman yang diberikan kepada debitur.
Ketiga, ganti rugi diperkenankan dengan ketentuan: (a) Dikenakan kepada pihak yang sengaja atau lalai melakukan penyimpangan dan menimbulkan kerugian pada pihak lain. (b) Besar ganti rugi sesuai dengan nilai kerugian riil yang pasti dialami, bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi. (c) Dikenakan pada transaksi yang menimbulkan utang piutang, seperti salam, istishna', serta murabahah, dan ijarah. (d) Ganti rugi dapat diakui sebagai pendapatan. Sebagaimana Fatwa DSN MUI No 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’widh).
Keempat, berdasarkan ketentuan fikih dan fatwa terkait denda dan ganti rugi tersebut, denda sebagaimana dalam kerja sama antara lembaga dan rumah sakit bisa dimaknai sebagai denda/sanksi dan ganti rugi.
Di antara teknisnya, rumah sakit dapat memperlakukannya sebagai pendapatan/ganti rugi atas kerugian riil yang dialaminya akibat keterlambatan lembaga mitra dalam membayar klaim kepada rumah sakit dengan memenuhi seluruh ketentuan fatwa tentang ganti rugi, di antaranya kerugian tersebut adalah kerugian riil.
Jika denda tersebut, setelah dikurangi biaya-biaya ganti rugi itu, masih terdapat sisa maka sisa tersebut diperlakukan sebagai denda atau donasi sosial yang disalurkan untuk para mustahik, layaknya infak dan sedekah.
Semoga Allah SWT melapangkan jalan untuk mempraktikkan aktivitas ini sesuai syariah agar berkah. Amin. Wallahualam.