REPUBLIKA.CO.ID, “Wancine wus goro-goro/ Geger gara- garaning duwit/ Duwit manak duwit/ Gedine sak duwit- duwit”.
Penggalan lagu berjudul Goro-Goro ini dilantunkan Budayawan Sujiwo Tejo dengan musikalitas yang khas, dari panggung arena Festival Dana Desa Kabupaten Semarang 2018, gedung Tenis Indoor, kompleks GOR Pandanaran, Wujil, Kabupaten Semarang, Kamis (27/12) malam.
Lirik yang menyiratkan bagaimana uang bisa merubah segalanya dan meruntuhkan nalar sehat ini, menjadi alur pemandu dari dialog budaya bertajuk Gendu-Gendu Rasa, Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata, yang dihadiri Gubernur Jawa Tengah, segenap Forkompinda dan perangkat desa se-Kabupaten Semarang tersebut.
Malam itu, lagu ini sengaja dijadikan sebagai sebuah kiasan atas fenomena Dana Desa. Kucuran uang dari Pusat ini memang menjadikan desa bergelimang dengan uang, belum lagi dana yang diterima desa dari daerah.
Kendati peruntukannya jelas dan tegas (meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa), tak sedikit kepala desa dan perangkatnya yang keblinger hingga harus berurusan dengan aparat penegak hukum. “Untungnya, itu di lain tempat dan di Kabupaten Semarang ini tidak ada,” ungkapnya.
Dalam perspektif budaya, pemilik nama asli Agus Hadi Sudjiwo ini melihat desa pantang menanggalkan ciri khas kearifannya serta budaya yang selama ini begitu kuat menjadi paugeman masyarakatnya.
Karena nilai-nilai ini akan menjadi pegangan penting di tengah perubahan zaman seperti sekarang. Perangkat desa harus bisa mempertahankan karakteristik desa dan jangan sok ke-kota-kotaan. “Sehingga ketika desa menerima banyak uang, para pemangku kepentingan desa ora eling (lupa) mereka mengatasnamakan kepentingan siapa?” tandasnya.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo sepakat dengan pemikiran Sujiwo Tejo. Keluhuran budaya dan tradisi yang berkembang di tengah masyarakat pedesaan tidak bisa ditinggalkan. Namun ia juga memendorong pemanfaatan teknologi informasi dalam mendukung akuntabilitas pemanfaatan Dana Desa.
Misalnya, gubernur ingin setiap desa di provinsi Jawa Tengah bisa melaporkan pertanggungjawaban penggunaan alokasi Dana Desa melalui media sosial (medsos) kepada publik. Melalui cara ini diharapkan ada kontrol dari publik terhadap apa yang telah dilaksanakan dan dikerjakan dengan dana desa.
Apalagi, medsos juga memiliki manfaat untuk bisa digunakan untuk promosi baik budaya maupun potensi unggulan desa. “Kenapa saya mendorong ke medsos, agar ada kontrol dari masyarakat karena kita harus berpikir seluruh mata masyarakat, mata warga desa melihat kita,” tandasnya.
Gubernur juga menyampaikan, pemanfaatan medsos untuk kepentingan pengelolaan keuangan desa bukan sebuah bentuk kesombongan, tapi merupakan sebuah bentuk pertanggungjawaban dan mendorong akuntabilitas.
Melalui medos tersebut desa bisa menyampaikan penggunaan dana –misalnya-- untuk pembangunan infrastruktur maupun berbagai pelatihan untuk meningkatkan kapasitas warga. Kalau perlu berikan testimoni dari warga masyarakat perihal nilai kemanfaatan yang sudah didapatkan.
“Masyarakat punya fungsi kontrol, sehingga manakala mereka melihat ada yang kurang tepat atau tidak sesuai dengan harapannya bisa disampaikan dan itu juga menjadi kritik buat pemerintahan desanya dan kita di pemerintahan,” tegas Ganjar.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Semarang, Raharjo Budi Kisnanto menambahkan, Festival Dana Desa ini telah menginjak penyelenggaraan yang ke-dua. Menurutnya, kehadiran Budayawan Sujiwo Tejo sangat luar biasa.
“Ini juga menjadi salah satu bagian dari pendekatan budaya yang dilakukan Kejari Kabupaten Semarang dalam mengawal akuntabilitas aparatur desa dalam pemanfaatan serta penggunaan dana desa,” tegasnya.