Kamis 27 Dec 2018 13:30 WIB

Industri Daur Ulang Belum Dapatkan Insentif Fiskal

Plastik daur ulang tidak hanya digunakan untuk kebutuhan dalam negeri, juga diekspor.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Bagian dalam rumah kaca daur ulang dari botol plastik
Bagian dalam rumah kaca daur ulang dari botol plastik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Asosiasi Daur Ulang Indonesia (Adupi) Christine Halim menyambut baik usulan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk memotong Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di industri daur ulang. Sebab, selama ini, industri belum pernah mendapatkan insentif fiskal dari pemerintah.

Padahal, Christine menambahkan, jumlah pelaku usaha di sektor daur ulang terbilang cukup banyak di Indonesia. Hal ini mengingat banyaknya proses dibutuhkan, mulai dari pengepulan, penggilingan, pengkonversian sampai ke distribusi.

Menurut Christine, jumlah industri daur ulang di Indonesia termasuk lebih banyak apabila dibanding dengan negara lain. "Soalnya, di negara lain itu sulit untuk mencari orang yang mau mengepul plastik karena biaya atau ongkos yang mahal. Untuk di Indonesia ini, termasuk yang banyak," katanya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (27/12).

Christine menambahkan, pemerintah sudah seharusnya menjadikan industri daur ulang sebagai perhatian karena potensinya yang besar. Pihaknya saja dapat menghasilkan sekitar 2.000 ton plastik daur ulang per bulan. Total itu tidak hanya digunakan untuk kebutuhan dalam negeri, juga diekspor.

Selain bermanfaat secara ekonomi, Christine menuturkan, industri daur ulang meberikan dampak positif terhadap linkgungan. Sebab, bisnis ini menjadikan sampah plastik yang kerap dipandang sebelah mata menjadi sumber tambahan pendapatan negara.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, selama ini, permasalahan sampah memang kurang mendapatkan insentif dari pemerintah. Seharusnya, ada insentif untuk pihak yang sudah mengolah sampah plastik menjadi biji plastik. "Dengan begitu, mereka semakin semangat karena ada margin profit," tuturnya.

Yustinus menilai, pengurangan PPN pada industri daur ulang merupakan sebuah urgensi dan potensi besar. Hanya saja, di tingkat pemerintah, masih kurang koordinasi dan belum merasakan sense of urgency yang sama. Oleh karena itu, pentingnya duduk bersama untuk membuat pemetaan industri hulu ke hilir guna kemudian memberikan solusi.

Yustinus mengatakan, pemerintah jangan fokus pada penerimaan saja, termasuk dengan rencana menerapkan cukai plastik terhadap kantung plastik belanja yang tidak ramah lingkungan. Pengurangan PPN pada industri daur ulang merupakan sebuah insentif yang dapat mendorong konsep berkelanjutan.

Menurut Yustinus, pemotongan PPN hingga lima persen adalah angka yang cukup moderat. Artinya, industri tidak dibebaskan sama sekali, tapi diberikan tarif efektif. "Ini berarti, ada pengakuan implisit bahwa waktu dia beli sampah plastik, ada pajak lima persen yang harus dibayar," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement