REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia telah resmi menjadi milik Indonesia. Presiden menjelaskan kepemilikan saham ini sah dimiliki pemerintah Indonesia pascaserangkaian proses divestasi saham.
"Saya baru saja menerima laporan dari seluruh menteri terkait, dari Dirut Inalum dan dari CEO dan dirut PT Freeport McMoRan, disampaikan bahwa sham PT Freeport sudah 51,2% sudah beralih ke PT Inalum dan sudah lunas dibayar," ujar Jokowi di Istana Negara, Jumat (21/12).
Jokowi menjelaskan, kepemilikan saham mayoritas ini akan dimanfaatkan oleh pemerintah untuk kemakmuran rakyat. Jokowi mengatakan, dengan menjadi pemilik saham mayoritas dan perubahan kontrak dari yang semula Kontrak Karya menjadi IUPK akan memberikan manfaat penerimaan negara yang lebih besar untuk negara.
"Nantinya, income pendapatan, pajak maupun nonpajak, royalti akan lebih besar dan lebih baik. Saya kira ini yang kita tunggu," ujar Jokowi.
Ia juga menjelaskan, pihak Freeport juga berkomitmen untuk menyelesaikan pembangunan smelter. Sedangkan terkait persoalan lingkungan, ia juga menjelaskan sudah selesai.
"Terakhir, saya dapat laporan untuk hal hal yang berkaitan dengan lingkungan, Lalu smelter semuanya juga telah terselesaikan dan sudah di sepakati. Artinya semua sudah komplet dan tinggal bekerja saja," ujar Jokowi.
Dalam keterangannya, Jokowi juga menggarisbawahi terkait kepemilikan saham bagi warga Papua. Ia menjelaskan, warga Papua mendapatkan porsi saham sebesar 10 persen dari proses ini. Harapannya, kata Jokowi warga Papua bisa menikmati hasil ini untuk kemakmuran daerah.
"Dan juga, terakhir masyarakat di papua juga akan mendapatkan 10 persen. Dari saham yang ada. Dan tentu saja, di papua juga akan mendapatkan pajak daerahnya," ujar Jokowi.
Menteri Kehutan dan Lingkungan Hidup (LHK), Siti Nurbaya Bakar menjelaskan road map atau peta jalan pada penanganan limbah tailing secara umum. Penanganan itu meliputi pembangunan tanggul rendah, multi tanggul dan hidrolik mulai dari hulu, pengurangan sedimen tailing dan non tailing dengan proses isolasi, memperluas penananman mangrove serta pemanfaatan tailing.
"Yang paling penting road map ini pemanfaatan tailing. Produksnya 160-200 ribu ton per hari. Jadi ini musti dimanfaatkan. In dia enggak bisa sendirian, kebijakan pemanfaatan harus didukung oleh industri lainnya karena bisa digunakan untuk bahan kontruksi, material uruk serta banyak lagi," kata dia.
Siti menjelaskan, peta jalan penanganan limbah tailing disusun untuk 12 tahun ke depan. Sebab, permasalahan ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu cepat. Menurut dia, prosesnya bertahap dan sistematis yang dibagi dalam dua periode yakni 2018 sampai 2024 dan 2025 sampai 2030.
"Roadmap pertama. 2018-2024. Itu pertama. Lalu roadmap berikutnya 2025-2030. Dalam rangka itu, pemerintah akan terus melakukan monitoring dan pengawasan. Ada indikator yang akan menjadi acuan," kata dia.