Selasa 18 Dec 2018 22:39 WIB

Ekspor akan Diperbaiki dengan Perjanjian Perdagangan Bebas

Perjanjian perdagangan bebas tengah diselesaikan dengan Uni Eropa, AS, dan Australi.

Rep: Rizky Jaramaya / Red: Nur Aini
Ilustrasi ekspor impor.
Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Ilustrasi ekspor impor.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah fokus memperbaiki neraca perdagangan dengan cara meningkatkan perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan sejumlah negara. Adapun beberapa perundingan FTA tengah dikebut untuk diselesaikan, yakni dengan Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Australia.

Jusuf Kalla mengatakan, pekan lalu Indonesia telah resmi menjalin kerja sama dagang dengan empat negara Eropa yakni Swiss, Liechtenstein, Islandia, dan Norwegia. Menurutnya, kerja sama dagang ini sangat penting untuk meningkatkan kinerja ekspor Indonesia terutama membuka pasar ekspor baru.

"Itu antara lain cara agar posisi ekspor kita lebih baik, karena Thailand, Vietnam, juga memiliki perjanjian seperti itu. Karena itu kita mengejar sistem itu, agar ekspor kita bisa lebih baik," ujar Jusuf Kalla di kantornya, Selasa (18/12).

Jusuf Kalla menjelaskan, negosiasi perdagangan dengan Australia sudah hampir selesai dan akan ditandatangani dalam waktu dekat. Sedangkan negosiasi perdagangan dengan Uni Eropa, dan Amerika Serikat ditargetkan rampung pada awal tahun 2019. Adapun pemerintah Indonesia akan melakukan review kerja sama dagang dengan negara-negara tradisional, misalnya Jepang.

"Kita harus mereview perjanjian yang ada, agar kita tidak dikenakan pajak," kata Jusuf Kalla.

Di sisi lain, menurut Jusuf Kalla, perang dagang antara Amerika Serikat-Cina dapat menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk masuk ke pasar Amerika Serikat. Apalagi, harga barang-barang Cina harganya tinggi di Amerika Serikat. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan FTA dengan Amerika Serikat agar dapat memperluas pasar.

"Kalau terjadi perang dagang, kesempatan kita masuk lebih tinggi, karena pasti barang-barang Cina ini naik harganya di Amerika, ini kesepatan kita masuk. Tapi kalau kita tidak ada perjanjian khusus tentang perdagangan secara keseluruhan, itu nanti kita akan terhalang," ujar Jusuf Kalla.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada November 2018 mengalami defisit sebesar 2,05 miliar dolar AS. Angka defisit ini meningkat dibandingkan Oktober 2018 mencapai 1,82 miliar dolar AS.

Sementara secara kumulatif Januari-November 2018 defisit perdagangan telah mencapai 7,52 miliar dolar AS. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan Januari-November 2017 yang masih surplus 12,02 miliar dolar AS.

Defisit perdagangan terjadi karena nilai ekspor sebesar 14,83 miliar atau turun 6,69 persen dibandingkan Oktober 2018. Sedangkan impor mencapai 16,88 miliar dolar AS atau turun 4,47 persen dari bulan sebelumnya.

Jusuf Kalla menjelaskan, defisit perdagangan November 2018 disebabkan oleh masalah perang dagang dan turunnya harga komoditas seperti batu bara, minyak, karet, dan CPO. Adapun Jusuf Kalla menjelaskan, volume komoditas yang diekspor jumlahnya sama namun nilainya mengalami penurunan sehingga menyebabkan defisit.

"Jadi secara volume, ini tidak turun tetapi secara nilai, dia (ekspor) turun, sedangkan yang dihitung dalam neraca perdagangan itu nilai. Jadi, ini kan batubara turun lagi 20-30 persen dibanding dengan beberapa bulan yang lalu, CPO turun, karet turun, cokelat turun, hampir semua mineral-mineral itu juga mengalami perubahan harga," kata Jusuf Kalla.

Adapun Jusuf Kalla menambahkan, dari kinerja ekspor November dapat diprediksi bahwa hingga akhir tahun akan terjadi penurunan ekspor dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Baca: Pemerintah Klaim Pertemuan IMF-WB Hasilkan Rp 5,5 Triliun

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement