REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menilai, rantai distribusi daging sapi di Indonesia terlampau panjang. Hal ini yang menyebabkan harga daging sapi segar di pasaran konsisten tinggi, yakni berada di kisaran lebih dari Rp 100.000 per kilogram.
Ilman menjelaskan, panjangnya rantai distribusi daging sapi lokal mempengaruhi harga daging sapi tersebut di pasaran. "Hal ini terjadi karena munculnya biaya-biaya tambahan, seperti biaya transportasi," ujarnya dalam siaran pers, Senin (17/12).
Ilman menjelaskan, berdasarkan hasil penelitian CIPS, daging sapi lokal melewati tujuh hingga sembilan tahapan sebelum sampai di tangan konsumen. Proses distribusi dimulai dari peternak yang menjual sapi mereka langsung kepada pedagang setempat berskala kecil atau melalui tempat penggemukan sapi (feedlot).
Kemudian, feedlot memberi makan sapi secara intensif untuk meningkatkan bobot sapi dan nilai jualnya. Tahapan selanjutnya, sapi dijual lagi ke pedagang setempat berskala besar dengan menggunakan jasa informan untuk mendapatkan harga pasar yang paling aktual.
"Kemudian, sapi dijual lagi ke pedagang regional, yang wilayah dagangnya meliputi beberapa kabupaten, provinsi dan sejumlah pulau kecil," kata Ilman.
Setelah itu, sapi kembali dijual ke pedagang yang ada di penampungan ternak (holding ground). Tahapan ini berfungsi sebagai area transit ketika mereka menunggu pedagang grosir dari Rumah Potong Hewan (RPH) untuk memilih hewan ternak yang akan dibeli dan dipotong.
Daging sapi yang dihasilkan dapat dijual langsung ke pedagang grosir berskala besar di pasar atau melalui tengkulak. Mereka akan membantu pedagang di RPH untuk mendapatkan pembeli.
Tahapan selanjutnya, menjual daging sapi ke pedagang grosir berskala kecil. "Merekalah yang menjual daging sapi ke pedagang eceran di pasar tradisional atau supermarket, sebelum akhirnya sampai di tangan konsumen," tutur Ilman.
Melihat panjangnya rantai distribusi, solusi untuk memotong rantai distribusi dengan menyerahkan prosesnya ke badan-badan pemerintah bukanlah jalan keluar tepat. Hasil penelitian CIPS juga menunjukkan, kalau pemerintah mau menangani semua proses distribusi daging sapi, maka pemerintah juga harus siap menanggung seluruh biaya terkait transportasi. Proses distribusi daging sapi yang melibatkan pemerintah sebagai pelakunya akan menghabiskan anggaran negara yang tidak sedikit jumlahnya.
Ilman menambahkan, sebagai ilustrasi, kita bisa melihat proses distribusi daging sapi di Jawa Barat (provinsi dengan tingkat konsumsi daging sapi tinggi) dan Jawa Timur (provinsi penghasil daging sapi terbesar di Indonesia). Data ini mengacu pada data Badan Pusat Statistik pada 2017.
Biaya transportasi untuk distribusi daging sapi di Jawa Barat adalah Rp 1.284,29 per kilogram. Sementara itu biaya distribusi daging sapi adalah Rp 445,83 per kilogram di Jawa Timur. Hal ini disebabkan adanya jarak yang dekat antara para pelaku di tahap produksi (peternak) dengan para pelaku distribusi (pedagang) yang membawanya hingga ke tingkat konsumen di Jawa Timur.
Dengan menggunakan angka ini, maka dapat diperkirakan rata-rata biaya transportasi rantai distribusi daging sapi di Indonesia adalah Rp 1.004,81 per kilogram. "Dengan perhitungan kebutuhan nasional yang mencapai 709.540 ton di tahun 2017, maka pemerintah harus menyiapkan uang sebesar Rp 713 miliar atau setara dengan 52,8 juta dolar AS untuk biaya transportasi untuk menjangkau wilayah Indonesia," kata Ilman.