REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Olefin, Plastik dan Aromatik Indonesia (Inaplas) Suhat Miyarso menjelaskan, industri masih mengalami berbagai tantangan dalam mengembangkan produksi plastik biodegradable. Di antaranya, biaya investasi yang bisa dua hingga tiga kali lipat dibanding dengan produksi plastik konvensional.
Dengan kondisi tersebut, Suhat mengatakan, harga jualnya pun akan lebih mahal. Apabila dibanding dengan plastik konvensional yang murah dan bahkan dijual gratis, plastik biodegradable cenderung sulit bersaing di pasaran.
Tantangan kedua, plastik biodegradable menggunakan bahan baku dari pangan seperti tapioka dan jagung yang juga dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. "Mau nggak mau, nanti justru bersaing dengan kita, manusia," tutur Suhat dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (11/12).
Suhat mengatakan, dengan dua tantangan tersebut, plastik biodegradable dianggap sebagai pelengkap dari jenis industri plastik. Saat ini, baru ada satu perusahaan di Tangerang yang memanfaatkan jagung dan tapioka untuk menghasilkan plastik biodegradable. Mereka masih berskala kecil dan belum ada rencana pengembangkan karena masih berusaha keras untuk tetap eksis.
Suhat menjelaskan, meski konvensional, plastik yang diproduksi saat ini dapat didaur ulang. Hanya saja, kualitasnya akan menurun. Misal, peralatan rumah tangga, mengalami penurunan kualitas menjadi ember plastik setelah didaur ulang.
Tapi, Suhat menuturkan, kini sudah ada teknologi yang dapat mendaur ulang sebuah produk ke produk semula. Misal, minuman kemasan yang diolah dengan teknologi ini, dapat digunakan sebagai minuman kemasan lagi. "Teknologi ini sudah ada di Eropa, dan kita bisa menconteknya," tuturnya.
Dengan pengembangan teknologi daur ulang, Suhat menjelaskan, kebijakan penerapan cukai dan rencana pelarangan kantong belanja plastik dapat dihentikan. Sebab, menurutnya, dua kebijakan ini tidak akan tepat sasaran dan justru menghasilkan dampak negatif lebih besar.
Suhat menuturkan, Inaplas sudah mengkaji kerugian yang akan dirasakan apabila penerapan cukai dan pelarangan kantong belanja plastik diberlakukan. Kajian yang dilakukan bersama akademisi Universitas Indonesia ini akan dirilis pada bulan ini. "Inti yang ingin disampaikan adalah kerugian terhadap PDB, ketika suatu produk hilang, dan tenaga kerja," ujarnya.
Secara garis besar, Suhat menambahkan, rencana cukai plastik akan menimbulkan tiga masalah baru. Masalah itu adalah peningkatan jumlah pengangguran, matinya IKM yang memproduksi plastik dan importir yang mengambil alih lahan IKM itu.