Selasa 11 Dec 2018 16:53 WIB

Kebijakan Kantong Plastik Turunkan Kinerja Industri

Penerapan cukai akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat antarpelaku industri.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Plastik dan Aromatik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono (kiri) dan Wakil Ketua Umum Inaplas Suhat Miyarso (tengah) dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (11/12).
Foto: Republika/Adinda Pryanka
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Plastik dan Aromatik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono (kiri) dan Wakil Ketua Umum Inaplas Suhat Miyarso (tengah) dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (11/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Industri Olefin, Plastik dan Aromatik Indonesia (Inaplas) menolak pelarangan kantong belanja plastik dan rencana penerapan cukai oleh pemerintah. Salah satu alasan yang disampaikan Wakil Ketua Umum Inaplas Suhat Miyarso adalah dampaknya terhadap penurunan kinerja industri dan menambah pengangguran. 

Industri kantong belanja plastik telah berkembang lama, didominasi oleh industri kecil dan menengah (IKM) dengan jumlah tenaga kerja berkisar antara lima hingga 200 orang per perusahaan. Secara keseluruhan, berjumlah sekitar 25 ribu orang. "Kalau dua kebijakan itu diterapkan, dampak negatifnya akan lebih banyak dibanding dengan positif," tutur Suhat dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (11/12). 

Plastik bekas pakai masih memiliki nilai ekonomi yang dapat didaur ulang, digunakan ataupun diolah ulang. Hal ini dapat menimbulkan usaha-usaha baru yang bermanfaat bagi masyarakat, di antaranya usaha pengepul dan pengolah sampah. 

Pelarangan kantong belanja plastik dan penerapan cukai, dilihat Suhat, bukan solusi penanganan pencemaran akibat sampah di darat, sungai maupun di laut. Menurutnya, pencemaran akan tetap terjadi apabila pengelolaan sampah di Indonesia tidak diperbaiki. 

Rencana penerapan cukai justru akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat antar pelaku industri. Sebab, sejumlah pihak dapat saja membuat plastik secara sembarangan dan dapat menutupi kesalahannya dengan hanya membayar cukai. "Ini akan memperburuk kondisi sampah yang saat ini sudah diabaikan masyarakat. (Cukai) bukan solusi, justru memperparah," ujarnya. 

Suhat menambahkan, rencana cukai plastik juga berpotensi lahan usaha industri kecil dan menengah diambil oleh importir yang kurang bertanggung jawab. Mereka dapat memanfaatkan celah kebutuhan plastik yang tidak dapat lagi terpenuhi industri dalam negeri karena tingginya biaya produksi pasca cukai. 

Direktur Industri Kimia Hilir Ditjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka Kemenperin Taufik Bawazier menilai, penerapan cukai justru akan membebani masyarakat yang bergantung terhadap kantong maupun produk plastik lainnya. "Kita lihat saja, penjual kecil seperti lontong sayur atau pecel yang harus dibebani dengan cukai plastik. Ini juga harus dipikirkan agar tidak menjadi beban," ujarnya di Tangerang Selatan, Senin (10/12).

Taufik menilai, permasalahan saat ini adalah pandangan yang beragam tentang plastik. Sejumlah pihak, kementerian dan lembaga, menilai bahwa plastik berdampak negatif terhadap lingkungan. Padahal, apabila diolah, plastik memberikan nilai tambah dan dampak positif dari segi ekonomi dan nonekonomi. 

Taufik mencatat, bahan baku plastik (scrap) menyumbang devisa mencapai hingga 40 juta dolar AS pada 2017. Nilai ini didapatkan meski beberapa persen bahan baku tetap harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan industri. "Kalau dikatakan kita impor scrap 50 juta dolar AS, kita bisa ekspor 90 juta dolar AS," ujarnya. 

Kini, yang harus dilakukan pemerintah dan lembaga terkait secara bersama-sama adalah dua hal. Pertama, mengembangkan teknologi pengolahan sampah sehingga dapat meningkatkan nilai tambah. Kedua, meningkatkan edukasi masyarakat tentang pemilahan sampah dari rumah tangga sebelum dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan tidak membuang sampah sembarangan. 

Baca juga, Kebijakan Kantong Plastik Sudah Berdampak ke Industri

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement