Jumat 07 Dec 2018 23:37 WIB

Bali Democracy Forum Resmi Ditutup

Ajang ini menjadi tempat berbagi mengenai perkembangan demokrasi.

Rep: Ali Mansur/ Red: Gita Amanda
Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi melakukan sejumlah pertemuan bilateral di sela-sela acara Bali Democracy Forum di Bali Nusa Dua Conferensi Center (BNDC), Bali, Kamis (6/12)
Foto: Republika/Ali Mansur
Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi melakukan sejumlah pertemuan bilateral di sela-sela acara Bali Democracy Forum di Bali Nusa Dua Conferensi Center (BNDC), Bali, Kamis (6/12)

REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Gelaran Bali Democracy Forum ke-11 resmi ditutup. Dengan mengangkat tema "Democracy for Prosperity" atau Demokrasi untuk Kemakmuran, forum ini berhasil mengumpulkan 92 negara dan 7 organisasi internasional dengan peserta hampir 470 orang. Ajang ini menjadi tempat berbagi mengenai perkembangan demokrasi ini dapat juga mengedukasi Indonesia.

Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir yang menutup forum ini mengatakan berbagai negara memiliki tantangan dalam mengimplementasikan demokrasi yang memberikan kemakmuran bagi semua. Dalam forum yang berlangsung selama dua hari ini, Indonesia menawarkan gagasan Demokrasi Inklusif.

"Demokrasi Inklusif adalah demokrasi yang menyatukan, tidak membagi, memberikan harapan bukan ketakutan dan memberdayakan yang lemah," jelas Fachir saat menutup kegiatan Bali Democracy Forum ke-11, di Bali Nusa Dua Convention Centre (BNDCC), Nusa Dua, Jumat (6/12).

Namun untuk bisa mencapai demokrasi inklusif, partisipasi semua pemangku kepentingan sangat penting khususnya bagi sektor swasta, pemuda dan wanita. Kemudian stabilitas, tatanan berbasis aturan dan tata pemerintahan yang baik adalah beberapa kunci penting untuk memfungsikan demokrasi. "Konsultasi publik memungkinkan pemerintah menangkap pandangan dan aspirassi warganya," tambahnya.

Lanjut Fachir, mengadopsi inovasi untuk teknologi akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sehingga memiliki pertumbuhan ekonomi penting dalam menstabilkan dan menjaga demokrasi. Karena, kata dia, demokrasi adalah pekerjaan yang sedang berjalan.

"Nilai-nilai demokrasi tidak boleh direduksi menjadi pengukuran kemakmuran tradisional, melainkan didasarkan pada pendekatan yang lebih holistik," tuturnya.

Selain itu, menurut Fachri, kemakmuran seharusnya tidak hanya diukur oleh nilai-nilai moneter. Namun juga dapat tercermin dari kesejahteraan rakyatnya.

Sementara itu, Direktur Southeast Asia Forum (SEAF) di Shorenstein Asia-Pacific Research Center, Stanford University, Donald K. Emmerson, menyampaikan salah satu keunikan Bali Democracy Forum adalah pemilihan Bali sebagai tempat. Karena, orang dari seluruh dunia datang untuk mengikuti dialog serius mengenai di Bali. Kemudian uniknya, Bali yang mayoritas warganya beragama Hindu di negara mayoritas Islam, menarik perhatian wisatawan datang.

“Tentunya Anda bisa melihat juga dengan contoh Indonesia, bahwa Islam dengan demokrasi bisa menyatu,” tuturnya.

Sambung Emmerson, Bali Democracy Forum juga sebagai bentuk Indonesia memperlihatkan diri di mata dunia dan menjadi perhatian dari Kementerian Luar Negeri. Dia menilai, Indonesia tidak ingin mempromosikan demokrasi tetapi justru memperlihatkan jalannya demokrasi di Indonesia. “Indonesia tidak mengatakan kepada delegasi lain, ‘Anda harus melakukan demokrasi seperti kami’. Cara ini berbeda dengan yang dilakukan Amerika atau negara maju lainnya,”  tutur Emmerson

Oleh karena itu, Emmerson mengaku lebih menyukai cara Indonesia menerapkan demokrasi. Model yang dilakukan Indonesia lebih toleran secara luas, namun kadang bisa terlalu toleran dan hal ini perlu diperhatikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement