Jumat 30 Nov 2018 06:00 WIB

Pengamat: Pemerintah tak Punya Instrumen Stabilisasi Harga

Skema baru ini membuat Bulog tidak ada bedanya dengan perusahaan swasta.

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Friska Yolanda
Pekerja memanggul beras untuk Operasi Pasar Cadangan Beras Pemerintah (OP-CBP) di gudang Perum Bulog Subdivisi Regional (Divre) Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Selasa (4/9).
Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Pekerja memanggul beras untuk Operasi Pasar Cadangan Beras Pemerintah (OP-CBP) di gudang Perum Bulog Subdivisi Regional (Divre) Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Selasa (4/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan pola pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) di Bulog memiliki dampak panjang. Salah satunya, peran pemerintah sebagai stabilisasi.

Khudori, pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) mengatakan, pola baru yang diterapkan pemerintah membuat Bulog bersaing dengan perusahaan swasta dalam mendapatkan beras. Mekaniseme baru dengan pemerintah yang mengisi selisih harga beli sebenarnya dari sisi pemerintah menguntungkan. Sebab, anggaran yang dikeluarkan kemungkinan jauh lebih kecil dibanding pola pengelolaan CBP saat ini.

Kemudahan juga diterima pemerintah karena nantinya dalam pertanggungjawaban akan berdasarkan audit dari BPKP terkait berapa dana yang harus dibayarkan. "Kalau ada selisih yang tidak pas, pasti akan ada review ulang," ujarnya, Kamis (29/11).

Sementara dari sisi Bulog, skema baru memungkinkan perusahaan pelat merah itu lebih mudah dalam menyerap gabah produksi domestik. Menurutnya, selama ini dengan aturan Inpres Nomor 5 Tahun 2015 tentang Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sulit dilakukan karena yang terjadi, harga di pasar selalu di atas HPP.

Namun, dengan perubahan HPP, Bulog bisa membeli dengan harga berapapun dan ada jaminan Bulog untuk mencapai target cadangan beras. 

"Tapi bukan berarti tanpa masalah," tegas dia.

Dengan skema perubahan baru ini diakui Khudori, membuat Bulog tidak ada bedanya dengan perusahaan swasta. Menerapkan pola pembayaran setelah pengeluaran beras sebenarnya bisa ditugaskan ke siapapun, tidak harus Bulog. 

Ia pun mempertanyakan kompetensi  Bulog dengan swasta yang secara jelas memiliki jaringan lebih luas, hingga pelosok. Hal tersebut mengancam Bulog tidak mampu bersaing mendapatkan gabah dengan harga murah, dibandingkan perusahaan yang telah bekerja sama dengan banyak penggilingan.

Lagipula, ia melanjutkan, sejak awal dibentuk Bulog tidak untuk berkompetisi dengan perusahaan swasta. BUMN Pangan ini didesain untuk bekerja sama dengan koperasi dan kelompok tani dalam menyerap surplus produksi yang tidak terserap pasar dan membuat harga jatuh. Pada saat itu lah Bulog masuk ke petani guna menjaga kontinyuitas usaha tetap terjaga.

"Tapi (dengan pola baru) fungsi dia (Bulog) sebagai proteksi hilang," kata dia.

Perubahan sistem pengelolaan CBP ini menurut Khudori merupakan kelanjutan dari perubahan mekanisme subsidi pangan dari bentuk barang menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Dalam perubahan skema subsidi peran Bulog tidak eksplisit. 

Cara tersebut adalah sebagai upaya pemerintah untuk menyerahkan ini kepada mekanisme pasar. Sedangkan skema baru CBP ini adalah kelanjutan itu, kelanjutan upaya pemerintah untuk menyerahkan ke mekanisme pasar.

"Pemerintah tidak lagi punya instrumen pengendali secara nyata," kata dia.

Dalam kesempatan tersebut yang ia meminta pemerintah berhati-hati karena beras merupakan komoditas paling senstif. Informasi CBP yang berkurang bisa berdampak pada inflasi pangan.

"Itu pukulan berat bagi warga msikin," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement