REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan, kurs rupiah hari ini sempat menguat cukup tajam ke Rp 14.330 per dolar AS. Penguatan itu dipicu oleh pernyataan Chairman Federal Reserve Jerome Powell, yang memperlunak pandangannya (stance) terhadap suku bunga kebijakan the Fed.
Powell memandang, suku bunga acuan Amerika Serikat atau Fed Fund Rate (FFR) sudah berada sedikit di bawah kisaran suku bunga netral. "Pernyataan Powel tersebut semakin memperkuat meyakinkan pasar bahwa tren kenaikan FFR sudah mendekati akhir," ujar Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah saat dihubungi Republika, Kamis (29/11).
Setelah kenaikan di Desember mendatang, kata dia, pasar memperkirakan hanya ada satu kali kenaikan pada 2019. Pasar juga optimis dengan semakin terbukanya kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, yang akan di negosiasikan oleh pimpinan kedua negara tersebut di pertemuan G20.
Lebih lanjut, Nanang menyebutkan, ada dua faktor global utama yang memengaruhi pergerakan rupiah ini. Pertama, ekspektasi kenaikkan suku bunga the Fed dan tensi perang dagang yang terus memanas, kini sudah memberikan iklim lebih kondusif bagi terciptanya stabilitas nilai tukar rupiah.
Faktor positif kedua yakni terus merosotnya harga minyak mentah dunia, yang sudah menyentuh 50 dolar AS per barel. Hal itu dapat mengurangi tekanan pada defisit neraca perdagangan migas Indonesia ke depan.
"Maka tidak menutup kemungkinan akan membuat rupiah semakin menguat. Bank Indonesia mencermati dampak dari dinamika global tersebut terhadap penguatan Rupiah, dan melihat ruang yang masih besar bagi penguatan lebih lanjut," jelas Nanang.
Menurutnya, penguatan nilai tukar rupiah hari ini wajar. Mengingat mata uang Garuda tersebut sempat melemah cukup tajam selama 2018.
Penguatan rupiah ini juga, kata dia, menunjukkan kepercayaan investor global terhadap perekonomian Indonesia yang semakin kuat. "Karena respon kebijakan moneter dan fiskal yang konsisten dan pruden dalam merespon tantangan global dan domestik termasuk dalam mengendalikan defisit neraca transaksi berjalan," ujarnya.
Nanang menyebutkan, arus modal global ke pasar sekunder SBN selama November 2018 telah mencapai Rp 31,8 triliun. Lalu sepanjang tahun 2018, secara year to date (ytd) telah mencapai Rp 63 triliun.