Rabu 28 Nov 2018 16:19 WIB

Industri Pertanyakan Urgensi Pajak Plastik

Penerapan cukai plastik dinilai tak menyelesaikan persoalan sampah.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Friska Yolanda
Nelayan menyandarkan perahunya di bibir pantai yang dipenuhi sampah plastik di Desa Dadap, Indramayu, Jawa Barat, Senin (26/11/2018). LSM World Wild Fund for Nature (WWF) Indonesia menilai masalah pencemaran sampah plastik di laut Indonesia sangat parah.
Foto: Dedhez Anggara/Antara
Nelayan menyandarkan perahunya di bibir pantai yang dipenuhi sampah plastik di Desa Dadap, Indramayu, Jawa Barat, Senin (26/11/2018). LSM World Wild Fund for Nature (WWF) Indonesia menilai masalah pencemaran sampah plastik di laut Indonesia sangat parah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Yayasan Unilever Indonesia, Sinta Kaniawati mengatakan, kebutuhan pemerintah dalam merencanakan pengadaan pajak bagi plastik perlu dikaji dalam konteks semua pihak. Menurutnya, penerapan cukai harus melihat mata rantai panjang dari plastik itu sendiri.

Memang dalam membuat sebuah regulasi kebijakan akan sesuatu hal, pemerintah kerap memanggil asosiasi yang berkelidan dengan plastik untuk berdialog bersama. "Penerapan pajak untuk plastik mungkin terjadi, tapi harus dikaji, jadi bukan hanya berbicara mengurangi, harus dilihat mata rantai panjang dari plastik itu sendiri," kata Sinta saat ditemui di Jakarta, Selasa (27/11) malam.

Sektor industri, dalam hal pemungutan pajak bagi plastik mempertanyakan langkah kebijakan pajak yang dinilai dapat menyelesaikan masalah plastik atau malah sebaliknya. "Mungkin tidak," kata dia.

Unilever Indonesia, kata dia sebelumnya sudah pernah mengkaji soal pajak plastik. Kajian itu meliputi bagaimana dampaknya terhadap penerimaan pajak dan juga total pertumbuhan industri.

"Kajian kita malah jadi minus. Ini, industri sudah melakukan simulaisi dari berbagai jenis bahan baku," ujarnya.

Oleh sebab itu, industri mencoba memberikan prespektif yang lebih luas. Pemerintah perlu mempertimbangkan penerapan cukai plastik tersebut.

"Tujuannya untuk apa? Apakah nanti kalo kita kaji memang betul itu bisa menjawab daur ulang plastik? Bagaimana kalau tidak? Bagaimana kalau ada langkah lain untuk mengurangi plastik," kata dia.

Sinta yang juga pemimpin PRAISE (sebuah asosiasi yang mendukung pengemasan dan daur ulang untuk lingkungan Indonesia yang berkelanjutan), mengajak pemerintah untuk bersama-sama mencari solusi. Sehingga dari sektor industri pun ikut didorong mencari solusi yang inovatif. Sebab menurutnya, solusi bukan hanya dengan pajak.

Selain melalui inovasi, industri juga tidak berhenti mempromosikan konsep 5R yaitu, reduce, reuse, recycle, replace, dan replant, untuk menyukseskan gerakan zero waste. “Kami berusaha mendorong lewat perbaikan gaya hidup. Menanamkan pada konsumen, agar hanya menggunakan apa yang diperlukan, sehingga mereka bisa ikut mengontrol konsumsi plastik,” ujarnya.

Salah satu anggota PRAISE, Triyono Prijosoesilo mempertanyakan hal serupa soal pajak plastik. Jika tujuan pemerintah mendapatkan uang dengan kebijakan yang rencananya akan diterapkan tahun depan ini, hal itu menurutnya salah besar.

"Jika tujuannya mau mengurangi sampah plastik, kita harus melihat data di lapangan," ujar Triyono.

Menurutnya masyarakat harus dijejali kebiasaan beprilaku mengenal bahwa plastik merupakan bahan baku yang dapat dipakai berulang-ulang. Sehingga, masyarakat sadar bahwa sampah yang mereka habis pakai adalah barang berharga.

"Harus dimulai dulu, sehingga pada akhirnya konsumen, pelaku usaha, industri, pemerintah daerah dan komunitas, jadi tahu bahwa ini barang berharga yang sayang kalau dibuang," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement