Senin 26 Nov 2018 09:50 WIB

Inggris Diprediksi Tanggung Ongkos Brexit 100 Miliar Pounds

Brexit akan menyebabkan penurunan besar dalam perdagangan dan investasi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Uni Eropa menyepakati keluarnya Inggris dari persekutuan Eropa, Ahad (25/11) waktu setempat.
Foto: AP
Uni Eropa menyepakati keluarnya Inggris dari persekutuan Eropa, Ahad (25/11) waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kesepakatan Brexit oleh pemerintah akan membuat Inggris menanggung ongkos kehilangan output ekonomi sampai 100 miliar pounds atau sekitar 145 miliar dolar AS pada 2030. Prediksi ini disampaikan analis dari Lembaga Nasional Penelitian Ekonomi dan Sosial (NIESR).

Studi People’s Vote yang menginginkan referendum kedua juga menyebutkan, Growth Domestik Product (GDP) Inggris akan menyusut 3,9 persen setiap tahun pasca keluar dari Uni Eropa. "Ini setara dengan kehilangan hasil ekonomi Wales atau Kota London," tutur analis, dilansir di BBC, Senin (26/11).

Tapi, prediksi ini tidak menurunkan keinginan pemerintah Inggris. Kanselir Philip Hammond mengatakan, kesepakatan tersebut lebih baik dibandingkan tetap tinggal di Uni Eropa.

Keputusan Inggris untuk keluar disetujui Uni Eropa pada Ahad (25/11). Termasuk di antaranya 'tagihan perceraian' senilai 39 miliar pounds atau 49 miliar dolar AS, hak warganegara dan ‘backstop’ Irlandia. Poin terakhir merupakan cara menjaga perbatasan Irlandia untuk tetap terbuka, apabila pembicaraan perdagangan terhenti.

Deklarasi politik terpisah menetapkan kemungkinan hubungan Inggris dan Uni Eropa setelah Brexit. Di dalamnya, terurai bagaimana perdagangan Inggris dan Uni Eropa akan bekerja.

photo
Perdana Menteri Inggris Theresa May berbicara selama konferensi pers di akhir KTT Uni Eropa di Brussels, Ahad (25/11) waktu setempat. Pemimpin negara Uni Eropa berkumpul untuk menyepakati perpisahan blok tersebut dengan Inggris pada tahun depan.

Penelitian NIESR membuat model skenario yang membedakan antara Brexit dengan kemungkinan apabila Inggris tetap tinggal di Uni Eropa. Ditemukan, Brexit akan menyebabkan penurunan besar dalam perdagangan dan investasi.

Kondisi tersebut terjadi karena meninggalkan pasar tunggal akan menciptakan 'hambatan lebih tinggi' untuk perdagangan jasa. Dengan begitu, akan kurang menarik untuk menjual jasa dari Inggris. "Ini menghambat investasi di Inggris dan pada akhirnya, para pekerja Inggris kurang produktif dibandingkan jika Inggris tetap di Uni Eropa," ucapnya.

Pada 2030, pada akhir dekade pertama di Uni Eropa, penelitian memprediksi empat kemungkinan hasil. Pertama, total perdagangan antara Inggris dengan Uni Eropa akan turun 46 persen. Kedua, GDP per kapita turun tiga persen per tahun atau sebesar 1.090 pounds (1.395 dolar AS) untuk biaya rata-rata orang per tahun pada tingkat inflasi saat ini.

Ketiga, investasi langsung asing akan turun 21 persen. Keempat, pendapatan pajak bisa turun 1,5 hingga dua persen setahun atau sekitar 18-23 miliar pounds (23-29 miliar dolar AS)  selama periode tersebut.

Laporan ini juga membuat model alternatif hasil Brexit dengan kemungkinan tetap di Uni Eropa. Hasil menunjukkan, tetap berada dalam Uni Eropa selama masa transisi, atau dikenla dengan solusi backstop Irlandia, akan tetap  berdampak hingga 70 miliar pounds (89 miliar dolar AS) per tahun. Masa transisi berlangsung selama 21 bulan yang dimulai dari 29 Maret 2019 hingga akhir 2020 sebelum Inggris meninggalkan blok zona euro sepenuhnya.

Menteri Luar Negeri Jeremy Hunt mengatakan, Inggris akan mendapatkan 70 sampai 80 persen dari apa yang diinginkan. Brexit juga diyakini dapat mengurangi sebagian besar dampak negatif ekonomi. Dengan Brexit, Hunt menilai, Inggris telah mendapatkan kemerdekaannya kembali.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement