Jumat 23 Nov 2018 15:16 WIB

Asosiasi: Adopsi Fintech Indonesia Masih Rendah

Potensi perkembangan industri masih begitu besar.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi Fintech ( Financial Technology)
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Fintech ( Financial Technology)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Harian Asosiasi Financial Technology (Aftech) Indonesia Kuseryansyah menyebutkan, potensi perkembangan industri fintech di Tanah Air masih besar. Salah satunya disebabkan oleh masih rendahnya tingkat adopsi fintech masyarakat, yakni di bawah sembilan persen. 

Kuseryansyah menjelaskan, nilai tersebut lebih rendah dibanding dengan negara di Asia. Tingkat adopsi fintech di Singapura mencapai 23 persen, India sekitar 70 persen dan Cina menyentuh angka 80 persen. 

"Dengan Indonesia masih kurang dari sembilan persen, bisa dibilang kita tertinggal," tuturnya dalam acara Fintech Media Clinic by Aftech di Jakarta, Kamis (22/11). 

Di balik ketertinggalan tersebut, nilai adopsi fintech Indonesia yang kecil menandakan bahwa potensi perkembangan industri masih begitu besar, khususnya dalam model bisnis peer to peer (p2p) lending atau pinjaman online dan payment atau metode pembayaran. Keduanya diprediksi akan mendominasi industri fintech di pasar Indonesia mulai dari tahun depan. 

Kuseryansyah menjelaskan, banyak isu yang mempengaruhi tingkat adopsi fintech suatu negara. Di antaranya jaringan internet dan kepemilikan ponsel pintar. Kunci berikutnya adalah harga layanan yang murah dan terjangkau. Terakhir, sosialisasi produk dari suatu perusahaan hingga bisa terdengar dan dipahami oleh masyarakat. 

Tantangan Indonesia di tiap aspek masih panjang. Namun, ia optimistis, industri akan terus berkembang sehingga adopsi fintech juga akan naik. 

"Dampaknya nanti akan ke inklusi keuangan yang sekarang masih di angka 60 sampai 70 persen," tuturnya. 

Selain adopsi fintech masih kecil, Kuseryansyah mengatakan, ada satu poin yang membuatnya optimistis terhadap perkembangan industri fintech. Poin tersebut adalah kesenjangan kredit di Indonesia yang mencapai Rp 1.000 triliun. 

Berdasarkan data Bank Dunia, permintaan masyarakat terhadap kredit mencapai Rp 1.600 triliun tiap tahun. Sementara itu, yang dapat dilayani perbankan dan layanan keuangan lain baru mencapai Rp 600 triliun tiap tahun. 

Kondisi tersebut berbeda dengan negara maju yang kesenjangannya hampir tidak ada. Salah satunya karena perkembangan industri fintech yang pesat dari tahun ke tahun. 

Tapi, perkembangan p2p lending dan payment juga bukan tanpa tantangan. Kuseryansyah menyebutkan, salah satu tantangan besar di Indonesia adalah akses perusahaan fintech terhadap data pengguna. Apabila permasalahan ini sudah bisa diatasi, asosiasi yakin industri dapat semakin berkembang.

Ketua Eksekutif Bidang Cashloan Aftech Indonesia Sunu Widyatmoko menjelaskan, asosiasi kini terus mengusahakan agar perusahaan fintech dapat mengakses data masyarakat melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

"Apabila sudah bisa terkoneksi, proses untuk assesment terhadap konsumen dapat lebih mudah, akurat atau teliti," ucapnya. 

Terintegrasi dengan data Disdukcapil juga diyakini asosiasi dapat mengurangi penipuan. Karena pengguna tidak dapat memakai identitas orang lain. Cara ini juga akan lebih efisien bagi perusahaan dan pengguna karena tidak membutuhkan proses tatap muka untuk verifikasi data. 

Baca juga, Bisnis Fintech Pinjaman dan Pembayaran akan Mendominasi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement