REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Lembaga riset Inggris Oxford Economics mengatakan dalam sebuah laporan bahwa pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) mungkin telah mencapai puncaknya. Namun, bank sentral Federal Reserve diperkirakan akan terus maju dengan tiga kenaikan suku bunga tahun depan.
"Ketahanan tetap menjadi tema kunci bagi ekonomi AS pasca pemilihan paruh waktu. Pertumbuhan PDB riil cenderung pada tiga persen pada kuartal keempat," kata laporan yang dirilis pada Kamis (22/11).
Kebijakan-bebijakan headwinds dari pengurangan stimulus fiskal dan moneter, bersama dengan ketegangan perdagangan dengan Cina, akan mengekang momentum pada 2019. Tetapi ekonomi AS akan tetap dapat tumbuh 2,5 persen tahun depan, katanya.
Oxford Economics memproyeksikan bahwa ekonomi AS dapat berkembang 2,9 persen pada 2018. Namun, pertumbuhannya melambat menjadi 2,5 persen tahun depan. Menurut Biro Statistik Ekonomi AS, ekonomi AS tumbuh pada laju tahunan 3,5 persen pada kuartal ketiga dan 4,2 persen pada kuartal kedua tahun ini.
The Fed telah menaikkan suku bunga acuan untuk ketiga kalinya tahun ini pada September. Bank sentral tersebut juga mengindikasikan kemungkinan kenaikan suku bunga lainnya pada Desember.
Baca juga, Perang Dagang AS-China Meningkat, Pertumbuhan Ekonomi Global Memburuk
Untuk zona euro yang beranggotakan 19 negara, think tank itu menurunkan prediksi PDB 2018 menjadi 1,9 persen, setelah mencatat pertumbuhan yang lemah pada kuartal ketiga. PDB zona euro naik hanya 0,2 persen di kuartal ketiga, sebagian besar mencerminkan pelemahan sementara di Jerman.
"Kami memperkirakan rebound di kuartal keempat, dengan perkiraan PDB 2018 dan 2019 direvisi sedikit lebih rendah menjadi masing-masing 1,9 persen dan 1,6 persen," katanya.
Oxford Economics juga memperkirakan perlambatan moderat dalam pertumbuhan ekonomi global, menurun dari 3,1 persen pada 2018 menjadi 2,8 persen pada 2019, dan lebih jauh turun menjadi 2,7 persen pada 2020. "Perkiraan kami PDB global pada kuartal ketiga (2018) menunjukkan bahwa pertumbuhan triwulanan menurun dari 0,9 persen pada kuartal kedua menjadi 0,7 persen di kuartal ketiga, hasil terlemah sejak kuartal ketiga 2016," kata Oxford Economics.
Kebijakan moneter yang lebih ketat, menurunnya likuiditas, tingkat utang yang tinggi dan harga-harga aset yang tinggi dapat menyebabkan aksi jual di pasar keuangan lebih parah yang mengakibat pelambatan lebih tajam dari perkiraan. "Kami melampirkan probabilitas 20 persen ke resesi global selama beberapa tahun mendatang," tambahnya.
Oxford Economics adalah perusahaan penasehat global independen. Lembaga tersebut menyediakan laporan, proyeksi dan alat-alat analisis di 200 negara dan wilayah serta 100 sektor industri.