Kamis 22 Nov 2018 12:33 WIB

UMK Tinggi, Gelombang PHK Hantui Karyawan di Karawang

Sebanyak 21 perusahaan tidak bisa mengikuti tingginya UMK Karawang.

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Dwi Murdaningsih
Sejumlah buruh berpakaian kebaya saat bekerja di salah satu pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, Kamis (20/4).
Foto: Antara/Yusuf Nugroho
Sejumlah buruh berpakaian kebaya saat bekerja di salah satu pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, Kamis (20/4).

REPUBLIKA.CO.ID, KARAWANG -- Upah minimum kabupaten (UMK) tertinggi masih dipegang Kabupaten Karawang dengan besaran Rp 4.234.010. UMK 2019 Karawang itu, mengalami kenaikan sebesar 8,03 persen dari UMK 2018.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang, Ahmad Suroto, membenarkan jika sampai saat ini UMK Karawang masih yang tertinggi di Jabar. Tingginya UMK ini, ada plus dan minusnya. Plusnya, tentu membuat para buruh sejahtera. Minusnya, bisa menjadi pemicu gelombang PHK. Sebab, sampai saat ini saja sudah ada 21 perusahaan yang tutup dan hengkang dari Karawang.

 

"21 perusahaan itu, tidak bisa mengikuti tingginya UMK. Makanya, mereka ada yang tutup (gulung tikar) serta pindah dari Karawang," ujar Suroto, kepada Republika.co.id, Kamis (22/11).

 

Dari 21 perusahaan yang tutup dan hengkang ini, lanjut Suroto, menyumbang angka pengangguran baru. Sebab, ada 22 ribu karyawan yang terpaksa menjadi korban PHK. Dengan begitu, jelas ada kerugian. Yakni, jumlah pengangguran mengalami peningkatan.

 

KSPI Tuntut Provinsi Lain Ikuti Jatim Tetapkan UMK

 

Akan tetapi, pihaknya tak bisa berbuat banyak mengenai kenaikan UMK termasuk dampaknya ini. Juga untuk korban PHK baru, hingga kini belum ada solusinya. 

 

Terkait dengan kenaikan UMK ini, lanjut Suroto, akan terus menggerus keberadaan perusahaan. Bahkan, di 2019 mendatang sudah ada laporan, lima perusahaan garmen akan meningglkan Karawang. Jika benar terjadi, maka akan ada 9.000 pengangguran baru di tahun depan. 

 

"Dampak yang paling besar dari kenaikan UMK ini, dirasakan oleh perusahaan sektor tekstil, sandang dan kulit. Kalau manufaktur, hingga kini masih bertahan," ujar Suroto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement