REPUBLIKA.CO.ID, ANTARA -- Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) Sumatera Selatan (Sumsel) meminta PT Pertamina menertibkan agen dan pangkalan gas elpiji yang melakukan penyimpangan untuk mengatasi kelangkaan bahan bakar tersebut. Menurut aturan yang berlaku, pangkalan elpiji dilarang menjual gas subsidi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
"Agen dan pangkalan elpiji resmi mitra PT Pertamina di Sumatera Selatan dikeluhkan masyarakat ada yang menjual bahan bakar tersebut di atas harga eceran tertinggi (HET), dan terdapat pangkalan yang diperlakukan diskriminatif oleh agen," kata Ketua YLK Sumatera Selatan, Hibzon Firdaus, di Palembang, Selasa (20/11).
Dia menegaskan, sesuai ketentuan pangkalan elpiji dilarang menjual barang yang disubsidi pemerintah itu di atas harga eceran tertinggi yang ditentukan. Namun kenyataan praktiknya di lapangan terkesan dibiarkan menjual di atas ketentuan HET.
Penjualan elpiji terutama tabung isi tiga kilogram khusus masyarakat menengah ke bawah di atas ketentuan HET dilakukan secara terang-terangan oleh agen dan pangkalan mitra Pertamina. Bahkan ada yang melakukannya dengan menggandeng pihak ketiga, seperti pedagang gas elpiji keliling atau menitipkan di warung-warung.
Dia mencontohkan, gas elpiji ukuran tabung isi tiga kilogram yang seharusnya dijual dengan harga ketentuan HET Rp 15.650, bisa dijual di pasaran berkisar Rp 18 ribu hingga Rp 21 ribu per tabung.
Praktik seperti itu bisa dilakukan oleh pemilik pangkalan yang mendapat perlakuan istimewa dari agen dengan mendapat pasokan elpiji dalam jumlah besar. Sementara bagi pemilik pangkalan yang menjalankan usaha sesuai ketentuan dan tidak bisa menjalin hubungan khusus dengan agen PT Pertamina anggota Hiswanamigas mendapat pasokan sedikit dengan alasan kuota yang ditetapkan terbatas.
Selain itu juga selalu "ditakut-takuti" dengan peringatan keras dari agen pemasok elpiji dilarang menjual barang tersebut dengan harga di atas ketentuan HET jika tidak ingin dicabut izin pangkalannya. Perlakuan diskriminatif itu perlu ditertibkan karena patut diduga terjadi kesepakatan melawan hukum atau "permainan" yang dapat merugikan pemilik pangkalan yang berusaha secara jujur dan akan merugikan masyarakat yang tidak bisa membeli elpiji sesuai dengan HET.
Untuk menguji perlakuan diskriminatif agen terhadap pangkalan binaannya, bisa dilihat dari data jumlah pengiriman setiap bulannya. Pangkalan yang memiliki kedekatan khusus mendapat pasokan bisa mencapai 500 hingga 1.000 tabung lebih sedangkan yang tidak paling banyak 300 tabung per bulan.
Kondisi nyata pengaturan pasokan dari agen Pertamina tersebut sangat jelas menunjukkan sistem pengaturan distribusi elpiji ke pangkalan yang diterapkan sekarang ini kurang baik. Akibatnya PT Pertamina dan instansi terkait perlu segera mengambil tindakan penertiban dan pengaturan ulang yang lebih proporsional, agar tidak ada lagi masyarakat yang dirugikan karena tidak dapat membelinya sesuai HET.