Ahad 18 Nov 2018 20:40 WIB

Pemerintah Tawarkan One Healt Atasi Bahaya AMR dan PIB

Kementan tak bisa bergerak sendiri.

Rep: Erik Purnama Putra/ Red: Muhammad Hafil
 Kuliah umum public awareness di Universitas Brawijaya, Malang pada Sabtu (17/11).
Foto: Dok Republika
Kuliah umum public awareness di Universitas Brawijaya, Malang pada Sabtu (17/11).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Pemerintah menggandeng semua pihak, termasuk akademi dalam memerangi bahaya resistensi antimikroba dan menekan laju pertumbuhannya. Selain masyarakat dan peternak, Kementan juga mengajak Organisasi Pangan dan Pertanian di bawah PBB (FAO, Yayasan Orang Tua Peduli (YOP), dan Indonesian One Health University Network (Indohun) mengadakan kuliah umum public awareness di Universitas Brawijaya, Malang pada Sabtu (17/11).

Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjen PHK Kementan, Syamsul Ma'arif mengatakan, kegiatan tersebut merupakan rangkaian 'Pekan Kesadaran Antibiotik se-Dunia 2018' yang diadakan untuk meningkatkan kesadaran para akademisi akan bahaya resistensi antimikroba (antimicrobial resistance) atau AMR. Syamsul mengatakan, pihaknya juga mengingatkan masyarakat terkait ancaman penyakit infeksi baru (PIB).

Syamsul menyatakan, Kementan tidak bisa bergerak sendiri dalam pengendalian AMR dan PIB. Hal itu karena penyakit itu memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh, yang merupakan inti dari pendekatan One Health. Konsep One Healt yang menekankan komunikasi, kolaborasi, dan koordinasi lintas sektor lintas disiplin ilmu baik di tingkat lokal dan global harus diterapkan untuk mengatasi AMR dan PIB.

"Perlu sektor kesehatan manusia, sektor kesehatan lingkungan dan pemangku kepentingan terkait melalui pendekatan One Health untuk bersama-sama menahan laju resistensi antimikroba" kata Syamsul dalam siaran pers, Ahad (18/11).

Dokter spesialis anak dari YOP, Yulianto Santoso mengaku, sering menghadapi pasien yang sulit disembuhkan hingga meninggal dunia, karena obat-obatan tidak lagi mempan membunuh kuman penyakit. Perilaku masyarakat yang tidak tertib menggunakan antibiotik sesuai aturan, termasuk kemudahan masyarakat untuk membelinya, dinilai Yulianto, sebagai pemicu terjadinya resistensi antibiotik.

“Hasil survei yang pernah kami lakukan menyatakan dari tahun ke tahun penggunaan antibiotik untuk batuk, pilek, dan diare tetap tinggi, yaitu sekitar 60 persen. Pasien pergi ke puskesmas karena batuk pilek, juga dikasih antibiotik," kata Yulianto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement