REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Rokhmin Dahuri menjadi salah satu nara sumber Focus Group Discussion (FGD) Kelautan dan Perikanan. FGD tersebut diadakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kadin Indonesia, di Gedung Bappenas, Jakarta, Rabu (14/11).
Acara dibuka oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas, Prof Bambang S Brojonegoro. FGD tersebut dihadiri oleh perwakilan dari seluruh stakeholders kelautan dan perikanan.
Rokhmin tampil dalam panel FGD Penyusunan RPJMN 2020 - 2024 Sektor Kelautan dan Perikanan bersama Olly Dondokambey (gubernur Sulut), Viva Yoga Mauladi (wakil ketua Komisi IV DPR RI), Dr Suseno (staf ahli Menteri Kelautan dan Perikanan), Bent Laos (bupati Morotai), Sabri Hutauruk (walikota Sibolga), dan direktur Pelindo IV.
Dalam kesempatan tersebut, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu menyampaikan konsep “Pembangunan Kelautan dan Perikanan Utk Peningkatan Daya Saing, Pertumbuhan Ekonomi Inklusif, dan Kesejahteraan Secara Berkelanjutan”.
Guru Besar Kelautan dan Perikanan IPB, Prof Dr Rokhmin Dahuri MS.
Rokhmin menyebutkan sejumlah tantangan dan permasalahan di sektor kelautan dan perikanan. “Sekitar 20 – 48 persen nelayan dan 10 – 30 persen pembudidaya masih miskin,” kata Rokhmin mengutip data BPS, 2018.
Selain itu, Rokhmin menambahkan, sebagian besar usaha KP (penangkapan ikan, budidaya, pengolahan, dan trading) dilakukan secara tradisional (less technology and management). Contoh: 625.633 unit kapal ikan, hanya 3.811 unit (0,6 persen) yang tergolong modern (> 30 GT); dari 380.000 ha tambak udang, hanya 10 persen yang modern (intensif); dari 60.885 UPI, hanya 718 UPI (1,2 persen) yang modern.
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu juga menyebutkan, kontribusi sektor KP terhadap PDB masih sangat rendah (< 3 persen ) dan nilai ekspor pun rendah (sekitar 2-4 miliar dolar AS).
“Selain kuantitasnya terbatas, harga sarana produksi yang diterima nelayan dan pembudidaya umumnya jauh lebih mahal ketimbang harga pabrik. Sebaliknya, ketika mereka menjual hasil tangkap atau hasil panen, harganya jauh lebih murah dari pada harga pada konsumen akhir,” tutur Rokhmin yang juga ketua ketua Penasehat KADIN Bidang Kelautan dan Perikanan (KP), dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Rabu (14/11).
Masih banyak tantangan dan permasalahan lainnya di bidang kelautan dan perikanan yang diungkapkan Rokhmin. Misalnya, mayoritas nelayan dan pembudidaya ikan belum melaksanakan Best Handling Practices dan Cold Chain System, sehingga kualitas ikan atau biota perairan lainnya menurun (rendah) pada saat sampai di lokasi industri pengolahan perikanan atau di tangan konsumen. Akibatnya: harga jual rendah. “Selain itu, integrasi dan stabilitas rantai suplai sangat rendah,” ujarnya.
Pada umumnya, nelayan hanya bisa melaut sekitar delapan bulan dalam setahun. Selama empat bulan lainnya nelayan tidak melaut akibat cuaca buruk atau musim paceklik ikan di wilayah penangkapan (fishing ground)-nya. “Di sektor perikanan budidaya, lokasi budidaya kebanyakan jauh dari lokasi industri pengolahan, pasar, atau produsen sarana produksi (benih, pakan, dan lain-lain),” paparnya.
Rokhmin menawarkan sejumlah saran kebijakan umum pembangunan kelautan dan perikanan, antara lain, perlunya evaluasi dan perbaikan keabsahan data KP sebagai dasar bagi proses perencanan dan pengambilan keputusan yang tepat dan benar berbasis pengetahuan (science-based planning and decision making process).
Selain itu, penetapan target produksi perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan industri pengolahan hasil perikanan harus berdasarkan pada analisis prediksi supply dan demand (konsumsi domestik dan ekspor) over time ( 2020 – 2024, 2030, dan 2045).
Kebijakan pembangunan KP, kata Rokhmin, harus berdasarkan pada prinsip-prinsip sustainable development, tidak hanya mementingkan kelestarian sumber daya ikan (SDI), tetapi mengabaikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan.
Rokhmin juga menegaskan, harus ada skim kredit perbankan khusus dengan bunga relatif rendah dan persyaratan relatif lunak (policy banking), seperti halnya untuk industri sawit di Indonesia dan sektor perikanan di negara-negara lain.
“Kebijakan, regulasi, iklim investasi, dan Ease of Doing Business harus kondusif bagi terwujudnya pembangunan KP yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan (sustainable),” papar Rokhmin Dahuri.