Selasa 06 Nov 2018 19:02 WIB

RI Butuh Pertumbuhan Ekonomi yang Lebih Tinggi di Kuartal IV

Sektor yang perlu didorong adalah industri manufaktur, pertanian dan pertambangan.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Friska Yolanda
Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II. Pembangunan tiang LRT di kawasan Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (7/8).
Foto: Republika/ Wihdan
Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II. Pembangunan tiang LRT di kawasan Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (7/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR RI Achmad Hafisz Thohir menilai, Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen pada kuartal IV 2018. Hal itu agar pertumbuhan ekonomi sepanjang 2018 bisa mencapai 5,2 persen atau sesuai dengan proyeksi pemerintah. 

"Sebetulnya pertumbuhan ekonomi sudah cukup baik 5,17 persen. Akan tetapi, untuk mencapai target 5,2 persen baru bisa tercapai jika pertumbuhan ekonomi kuartal IV di sekitaran 5,3 persen," kata Hafisz ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (6/11). 

Untuk mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi tersebut, menurut kader PAN itu, perlu ada dorongan pada kinerja industri manufaktur, pertanian, pertambangan, dan perdagangan. Hal itu lantaran sektor tersebut masih menjadi pendorong utama perekonomian Indonesia. 

Dia mengatakan, saat ini perekonomian sedang menghadapi tekanan dan tercermin pada kondisi ekspor yang melambat. Menurutnya, hal itu terjadi karena faktor global yang masih menahan laju konsumsi serta dolar AS yang perkasa. 

"Dari dua hal tersebut maka dapat kita simpulkan terjadi pelemahan permintaan barang dan jasa. Inilah yang membuat ekspor menjadi lambat," kata dia. 

Selain itu, produk ekspor dari Indonesia masih memiliki kandungan impor relatif tinggi yakni berkisar 40 hingga 60 persen. Hal itu, ujarnya, turut membuat produk ekspor Indonesia berdaya saing lemah. 

Sementara itu, anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS Refrizal menilai, saat ini kebijakan pemerintah masih belum berpihak pada peningkatan ekspor. Bahkan, menurutnya, kebijakan pemerintah cenderung longgar dalam mengizinkan impor terutama untuk produk pangan. 

Dia mengatakan, pemerintah memang telah berupaya mengurangi impor dengan melahirkan sejumlah kebijakan seperti wajib Biodiesel 20 persen (B20) dan kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor untuk 1.147 komoditas konsumsi. 

"Tapi itu dampaknya baru terasa nanti di 2019. Kebijakan kita terlambat. Dampaknya rupiah kita terus melemah karena ada CAD (defisit transaksi berjalan)," kata dia. 

Baca juga, Darmin: Daya Tahan Ekonomi RI Kuat Hadapi Gejolak Global

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement