REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi Suropati Syndicate, Muhammad Ardiansyah Laitte menilai pernyataan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai surplus beras kontradiktif. Pasalnya, BPS mengatakan Indonesia mengalami surplus beras 2,85 juta ton selama 2018 karena Indonesia masih tetap impor beras sebesar 2 juta ton.
"Saya apresiasi telah dirilis data beras terbaru. Ini akan mengakhiri polemik tentang beras. Tentunya masih banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan BPS,” kata pria yang biasa disapa Alle di Jakarta, Jumat (26/10).
Dia menekankan, data beras terbaru hasil metode KSA sesungguhnya baru pada tahap rilis secara nasional. Data tersebut belum menghitung angka per kecamatan dan kabupaten.
“Publik menunggu data detil untuk dasar kami memantau fakta lapang. Berikutnya perlu segera dihitung angka mundur hingga 10 atau 20 tahun terakhir dan disebarkan ke publik dan lembaga dunia,” ujar Alle.
Alle menambahkan, beberapa hal menjadi catatan luas panen, yakni apabila menggunakan data luas baku sawah 7,1 juta hektar, lantas bagaimana nasib fakta petani tanam padi diluar luas baku sawah, tidak dihitung. Ada banyak padi ladang, padi gogo dan rawa yang ditanam di tegalan/kebun, huma/ladang, belukar, rawa, areal hutan dan areal sementara tidak diusahakan. “Apakah diabaikan, padahal luasnya sangat signifikan,” imbuhnya.
Namun demikian, Alle menegaskan data surplus beras ini layak diapresiasi karena menunjukkan ada dampak dari program-program pertanian. Surplus 2,85 juta ton artinya produksi berlebih dan melimpah dibandingkan konsumsi.
“Jelas mubadzir atau sia-sia itu impor beras 2 juta ton. Sekarang ini publik bertanya-tanya mengkaitkan antara rilis data dengan impor ini. BPS ikut-ikutan bicara impor, ada apa ini? BPS ya agar fokus pada data saja,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Alle menilai kebijakan dan realisasi impor ini harus dievaluasi. Impor hanya membuang-buang devisa dan merugikan petani. Bahkan, impor bertentangan dengan upaya pemerintah saat ini yang terus mendorong ekspor di tengah situasi sulit menghadapi perang dagang (trade war) yang terjadi saat ini.
"Waktu lalu ada yang bilang, bila tidak impor akan tewas kita. Ya jangan begitulah. Ini data sudah surplus, jadi tidak bakalan tewas. Justru sebaliknya, bila tidak impor akan tewas para pehobby impor itu,” tuturnya.
Lebih lanjut Alle menjelaskan agar fair mendapat data yang diinginkan untuk menyelesaikan masalah, metode KSA harus dikombinasikan dengan Sensus Beras. Cukup sekali Sensus bisa dijadikan pijakan data yang kredibel dan valid.
“Metode KSA bisa dianggap sebagai menyelesaikan masalah dengan menyisakan masalah pula jika tidak dilengkapi dengan sensus, maupun pendataan terbaru sebaran stock beras di petani, penggilingan, gudang, paaar dan pedagang, di konsumen, warung hotel dan restoran dan tercecer,” jelasnya.
Alle mengungkapkan hasil survei SKCB BPS 2015 itu di 31 Maret 2015 ada stock beras 7,97 juta ton, lalu 31 Juni stock 10,02 juta ton dan 30 September 2015 stock 8,85 juta ton. Dengan begitu, stock sangat tinggi berkisar 7,9 hingga 10 juta ton. Bahkan beberapa kali Sucofindo survei sejak 2007 hingga 2012, stock beras berkisar 6 hingga 9 juta ton beras
“Artinya survei BPS 2015 ini menjadi kontradiktif dengan angka surplus metode KSA sebesar 2,85 juta ton. Kelihatan janggal dan berbeda jauh untuk dicermati,” ungkap Alle.
Namun demikian, Alle menegaskan jika mengacu data stock beras hasil SKCB BPS maupun data surplus hasil KSA, bukan berarti neraca beras defisit. Pasalnya, program pembangunan pertanian sudah menuju modern sehingga mampu menyediakan pangan ke depannya.
“Jadi jangan percaya bila ada yang bilang neraca beras tidak aman. Saya optimis neraca beras sangat aman hingga tahun depan dan tahun-tahun selanjutnya mengingat infrastruktur pertanian yang dibangun selama ini semakin kuat. Pondasi pertanian sudah mantap untuk akselerasi,” pungkasnya.